Kamis, 02 Juli 2015

Meja Tenis dan Mamaku

Kamar itu begitu berantakan dan untuk yang kesekian kalinya, teriakan mama tidak aku gubris. Ketika kesabaran mama hampir habis, aku malah balik badan dan seperti hendak memuntahkan ketidaksukaanku, akan ketidaksabaran mama untuk menunggu aku menyelesaikan tontonan TV yang begitu menarik, dan teramat disayangkan untuk dilewatkan aku berkata dengan nada yang agak tinggi : “Iya, Ma. Apa saja e, kakak sudah bilang Iya, tidak bisa sabarkah mama?”. Mama seperti tercekat, dan tersedak sesuatu yang besar di kerongkongannya, matanya terbelalak menahan amarah yang teramat sangat, lalu dengan nada pelan mama berkata : “Terserah kakak saja sudah, mama capek bicara dan tegur. Mama sudah bosan lihat ini kamar berantakan, terserah kakak saja sudah”, sambil berlalu ke dapur meneruskan pekerjaannya.


Papa meneriakkan pelan namaku dari belakang meja kerjanya, meja yang dipenuhi setumpuk buku-buku analisa anggaran biaya, dengan sebuah printer brother yang selalu on siap menerima transferan data untuk ditransformasikan menjadi kertas berabjad, dengan angka-angka, garis, grafik berwarna hitam pekat dan serasi dalam warna-warni pelangi ; dan sebuah asbak penuh abu dan puntung rokok. Satu benda yang juga menjadi bahan omelan mama, benda yang isinya selalu mama minta untuk di pindahkan sendiri ke tempat sampah oleh papa, karena mama tak tahan dengan aroma tembakau. “Jeri, kenapa begitu sama mama? Sudah papa katakan jangan kasar dengan mama. Kenapa begitu Kakak?”, suara papa seperti menghantamku keras. Aku mematikan TV itu, membereskan kamar dan pergi menemui mama, untuk memeluknya. Mama tahu aku menyesal, mama hanya membelai kepalaku sambil berkata : “Iya kakak, tidak apa-apa sudah bereskan kamar kakak?”. “Sudah mama”, jawabku.

 Hari itu hari Sabtu. Papa tidak ke kantor, kebetulan libur. Aroma ayam goreng, begitu menusuk hidung. Masakan mama selalu enak. Sop brenebon dengan potongan-potongan daging di dalamnya, ayam goreng, tahu-tempe goreng, mie goreng buatan mama, hampir semua masakan mama selalu menjadi favorit kami sekeluarga. Terkecuali  ketika papa sedang sariawan, maka ada saja komentar papa di meja makan, tentang makanan mama. Setiap saat papa berkomentar mama tak berbicara banyak, hanya tersenyum saja dengan jawaban singkat : “Hem, iyakah? Baik lain kali mama tidak pakai tepung kanji di dalamnya”.

Dan siang itu, kami duduk nyaman mengelilingi bukan keliling sempurna karena di satu sisi meja itu, tidak ada kursi. Di tiga sisi meja duduk Papa, mama dan aku. Dan sebuah meja plastik kecil beserta kursi kecil, tepat di samping papa, meja makan buat adik kesayanganku yang baru saja genap berusia 2 tahun. Ketika sedang membahas masakan mama yang enak. Tiba-tiba papa terdiam, aku menangkap mega mendung di wajahnya, pandangan mata papa kosong sambil tetap mengunyah. Kami pun terdiam, melahap makanan dengan tenang, sampai papa berkata  : “Jeri, Papa tidak suka jeri bicara kasar dengan mama begitu”. Aku mengiyakannya.

Lalu papa kembali bercerita : “Dulu di rumah Maumere, meja tenis adalah barang yang bisa di bilang mahal. Dan tidak semua orang punya, jangankan orang, bahkan kantor pun tidak semua punya meja tenis. Waktu itu Ba’i pulang membawa papan-papan kayu kelas 1. Ada satu Ba’I namanya Ba’I Lukas. Ba’I Lukas terampil sekali mengerjakan pekerjaan mebel apa saja. Dengan berpedoman buku Olahraga ba’I Lukas mengukur, menggergaji, memaku sana sini, jadilah meja tenis. Waktu itu papa duduk di kelas 2 SMP. Sejak ada meja tenis, setiap pulang sekolah papa jadi ingin cepat sampai ke rumah, ganti baju dan mulai bermain bersama om-om yang tinggal di rumah. Dulu banyak sekali orang dari Timor dan Sabu tinggal di rumah Maumere, ada om Sua, om Abe, Om Yunus, dan masih banyak yang lain.  Karena keasyikan bermain papa sering lupa waktu dan lupa mandi. Oma Lodya suka berteriak panggil ingatkan papa suruh mandi. Dan kakak tahu rasanya sama seperti kakak kalau lagi asyik nonton Naruto, mama panggil dan minta melakukan sesuatu. Rasanya seperti kita lagi makan ayam goreng yang enak, baru ada yang rampas tuh..:).” Aku tertawa, mama terlihat asyik menyimak, sambil sesekali melayani adikku meminta teh, air minum, dalam diam seakan tidak ingin mengganggu konsentrasi papa bercerita. Papa melanjutkan kembali : “Sore itu, hari sudah mulai gelap, Oma memanggil papa dari ruang tengah yang bersekat jendela kaca yang tingginya hampir memenuhi seluruh dinding ruangan itu. Waktu itu papa sudah hampir menang melawan om Abe, karena jengkel oma tidak berhenti memanggil nama papa, Papa melempar bet itu kuat-kuat ke atas meja tenis. Terlalu kuat kayaknya, meja itu tidak patah, tapi mampu membuat oma Lodya terdiam, tidak memanggil lagi.

Papa menuju kamar mandi, melewati ruangan tempat oma Lodya memanggil papa, oma tak ada disitu, sepertinya ada di kamar. Selesai mandi, papa pakai baju, makan dan mulai belajar. Selesai mengerjakan PR, ba’I memanggil papa ke ruang tengah. Di ruangan itu, papa duduk berhadap-hadapan bersama Ba’I. Ba’I lalu berkata : “Sonny, apa yang kau buat tadi sama mama? Kau tahu tidak, mama menangis sendiri dalam kamar. Jangan seperti itu lagi”. Dan sejak saat itu, papa tidak pernah mendengar omelan Oma. Oma tidak pernah meneriakkan nama papa lebih dari satu kali. Kejadian itu, bahwa oma menangis di dalam kamar, tidak pernah papa lupakan. Dan papa selalu berusaha untuk mematuhi oma. Oma bilang apa saja, papa ikut. Dan apa saja yang papa minta pasti oma kasih. Mau makan apa saja pasti oma masak buat papa begitu juga dengan mama Ina dan Tii John.

Lalu saatnya papa ke Yogya untuk kuliah. Tiap kali ada orang Maumere yang hendak ke Yogya, atau anak mahasiswa yang pulang mudik, tidak lupa oma menitipkan kue-kue dan makanan yang banyak sekali. Papa dan mama Ina pulang libur waktu itu. Ketika oma jatuh selesai menerima telp. Kami memanggil ambulans dan membawa oma ke Rumah sakit, tapi sayang sekali Oma telah pergi untuk selamanya. Oma memang sudah meninggal lama sekali. Papa yakin Oma sudah menempati tempat terindah bernama surga bersama malaikat-malaikat. Tapi sampai saat ini papa masih menangis, menyesal dan mungkin hingga papa kembali ke tanah penyesalan itu akan terbawa”. Lalu papa terdiam. Aku bingung, kesalahan apa yang sudah papa buat? Setahuku dari cerita yang pernah kudengar, papa anak yang baik. Pertanyaan kenapaku terhenti tepat ketika papa melanjutkan lagi : “Hal yang paling papa sesalkan adalah : Papa tidak pernah meminta maaf sama Oma sudah membuat Oma Lodya yang begitu baik sama papa menangis ; ketika papa melempar bet sebagai tanda protes beberapa tahun lalu; sebelum Oma Lodya terbujur kaku, diam dalam tidur abadinya, papa juga tidak sempat memeluk Oma saat itu. Bahkan hingga oma meninggal kata maaf itu tidak pernah terucap”. Cerita papa berakhir tepat di suapan terakhir yang masuk ke mulutnya. Kami terdiam, aku melirik ke mama. Sepertinya mama kaget, cerita ini baru pertama kali papa ceritakan.


Aku sendiri bertekad untuk tidak kasar dengan mama, terimakasih buat papa yang sudah menceritakannya. Setidaknya dari sekarang hingga seterusnya aku akan terus berusaha untuk menghormati papa dan juga mama selalu, sebelum terlambat, sebelum kata maafku hanya terbawa angin, tersesap menyatu dalam dinginnya tanah basah, dan dalam diam yang kekal. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar