Anak yang beranjak remaja itu,
menumpahkan air matanya di atas bantalnya. Untuk sperma mana yang membuahi sel
telur ibunya, yang masih belum jelas kini. Untuk setiap kejadian yang tak henti
menari di pelupuk matanya, yang ia saksikan dari kotak lemari sempit, dalam
gelap dalam ketakutan. Ketika tubuh ibunya jatuh tersungkur, setelah timah
panas itu tepat mengenai dadanya. Dia terus bertanya alasan Tuhan menjadikannya
ada di dunia.
Aku menatapnya dalam-dalam
merengkuhnya dalam pelukan dan berkata ; “Kau tahu hidupku juga tidak lebih
baik dari sekarang. Ada yang hilang dari masa kanak-kanakku. Ketika aku
beranjak dewasa semuanya semakin menggila, aku menjadi seorang pecandu alcohol.
Pulang ke rumah setelah bekerja, alcohol adalah sahabat terbaikku. Sahabat yang
selalu dapat membantuku untuk bisa tertidur pulas, tanpa harus aku berperang
keras melawan kesepianku. Hidupku gelap tak bercahaya. Lalu semua berubah,
ketika tangan malaikat yang dapat kusentuh, tubuh mungil yang dapat kupeluk itu
kutemukan di balik sebuah lemari, di tempat kejadian perkara, persis ketika aku
bersama rekan-rekanku mendapati tubuh ibumu yang bersimbah darah. Hidupku
berubah sejak saat itu. Aku memutuskan segera hubungan baikku, persahabatanku
dengan botol-botol minuman. Aku ingin segera pulang ke rumah ketika jam
kantorku selesai, untuk mendapatimu, untuk menyiapkan makananmu, botol susumu,
bermain denganmu, mengganti popokmu balita 3 tahun kesayanganku. Kau tahu,
Tuhan menjadikanmu ada di dunia ini, untuk menjadi sahabat terbaikku, untuk
menemani satu jiwa kesepian, dan untuk memberikan jawaban atas pertanyaan yang
sama denganmu, mengapa Tuhan menjadikan aku ada, yaitu untuk menjadi sahabatmu”.
Aku menyeka air matanya, remaja
kulit hitam yang baru saja menemui seseorang yang diketahui mungkin ayahnya. “Oh,
jadi kau anak brengsek yang lahir dari rahimnya itu? Sudah besar kau rupanya.
Kau tahu banyak yang berkata bahwa kau adalah anakku, tapi bagiku kau bukan
anakku, setelah aku dapati ibumu juga tidur dengan bajingan-bajingan yang lain.
Dan waktu itu aku menggedor pintu rumah
ibumu bukan untuk membunuhnya, aku hanya meminta bagianku atas hasil penjualan narkoba yang disimpan
ibumu. Aku terlanjur ditangkap polisi karena memukul teman tidur ibumu dan
harus dipenjara selama 6 bulan. Timah panas itu bukan aku yang menembakannya”.
Dia hanya terdiam di hadapan pria kekar itu. Dan aku hanya bisa menarik napas
dari balik kaca jendela.
“Kau tahu Simon?” tanyaku. “Ya,
dia sangat baik padaku. Dia mengupaskan apel merah itu ketika kita pergi
mengunjunginya”, jawabnya. “Dia seorang pecandu alcohol juga dahulu, dia selalu
memukulku ketika mabuk atau Ana ketika berusaha membelaku. Aku tak tahu apa
yang salah denganku. Semua tekanan masa kecil itu membawaku juga kepada
botol-botol alcohol sebelum aku bertemu denganmu, 12 tahun yang lalu. Dia
berubah ketika Ana, ibuku pergi untuk selama-lamanya. Penyesalannya seperti
menjadi sarkofagus buat dirinya, setelah di tampar ketidahadiran abadi Ana. Jadi
apakah kita adalah korban dari pecandu narkoba, atau alcohol dari orang tua
kita dahulu, aku ingin kau tahu bahwa kau tidak hidup sendiri. Kau adalah
malaikat bagiku”. Aku memeluknya lagi, dan membaringkannya, menyelimutinya
kemudian berjalan menuju ke pintu.
“Tidurlah yang nyenyak, kelas
barumu dimulai besok tepat pukul 8”, kataku.
15 menit kemudian, aku berdiri di
depan pintu menatapnya dalam keremangan cahaya lampu dan bias sinar rembulan
yang jatuh tepat di atas wajahnya, balita mungilku yang beranjak remaja. “Terimakasih
malaikatku, untuk kehadiranmu dalam duniaku”.