Jumat, 30 Oktober 2015

Anak dan Soal Cerita

Seperti biasa setelah jam pulang sekolah, saya menemani anak laki-laki saya makan atau sekedar duduk bercerita di meja makan. Dan dia mulai memberikan laporan tentang nila-nilainya. Hari kedua adlaah pelajaran Matematika, dan tidak seperti mata pelajaran lainnya, seperti ada yang terlewatkan tidak ada laporan tentang pelajaran Matematika.

“Bagaimana dengan Matematika, Kak?” tanya saya.

“Belum, Ma. Suster belum selesai periksa,” jawabnya.

Selalu seperti itu hingga hari Sabtu, hari terakhir yang ditutup dengan ujian Bahasa Inggris. Saya bertanya lagi, “Kenapa suster periksa Matematikanya lama sekali?” Belum sempat dia menjawab, saya tanyakan kembali, “Atau kakak Remedi?”

Dia terdiam dan ada sedih disana, “Iya, Ma. Kakak Remedi Matematika. Nilai tertinggi 74 dan nilai kakak Cuma 69, kurang 1 nilai saja Ma dari 70.”

Kali ini saya yang terdiam, baru sekali ini dia remedi dan di mata pelajaran kesukaannya. Sebelumnya saya memang harus ke kampung selama dua minggu untuk suatu urusan, sehingga tidak bisa menemaninya belajar. Papanya sendiri harus lari sana-sini, membagi waktu antara jam kerja yang padat dan mengantar jemputnya.

Rabu, 28 Oktober 2015

Waktu dan Caranya Sendiri

Selama ini aku hanya berjongkok memperhatikan kutu-kutu putih yang melekat di batang-batang pohon mawar yang ada di salah satu pot di sudut teras. Sudah lama mawar yang harum semerbak itu tak lagi menguncup dan mekar sempurna. Dan sepertinya kutu-kutu yang berkumpul bergerombol di beberapa titik batangnya itulah penyebabnya.

Kemarin aku dapati salah satu cabang di pot sebelahnya, mulai dikutui kutu-kutu putih, mawar putih itu tidak berbau harum, tapi selalu sedap dipandang ketika berbunga, aku lalu menanggapinya dengan sedikit kepanikan, “Bagaimana jika kutu-kutu putih itu menyerang semua pot-pot bunga mawar disini? Akan sulit menikmati kembangnya sudah pasti.”

 Bergegas aku ke kamar, duduk di depan laptop dan mulai mengetik : Bagaimana mengatasi kutu putih pada pawar. Aku mendapatkan satu jawaban yang menurutku gampang untuk dilakukan, http://ayoberkebun-hervin.blogspot.com memberikan tips kurang lebih begini, “Siapkan air yang telah dicampur detergen / sabun cuci cair dengan perbandingan 1 liter air 1 sendok makan detergen, lalu aduk merata. Gunakan Spon lembut untuk menghilangkan kutu putih. Celupkan spon ke larutan detergen, usapkan perlahan terhadap bagian daun yang terkena. Lakukan berulang-ulang sampai kutu putih hilang. Bilas dengan air bersih biasa terhadap larutan detergen yang menempel pada daun terserang. Tanaman sudah terbebas dari kutu putih...”.

Hal yang sederhana untuk dilakukan, namun masih tertunda, aku sendiri belum membeli spon untuk melunturkan kutu-kutu putih itu J.

Melodya, balita dua setengah tahun, anak keduaku, datang ke sampingku, dan meminta dipetiki sekuncup mawar. Awalnya aku keberatan untuk itu sebenarnya. Menanti mawar-mawar itu berbunga sempurna juga merupakan kenikmatan tersendiri. Tapi akhirnya kuncup itu tetap kupetik, dan memberikan kepada putriku,  sebuah kuncup mawar yang masih terbungkus dengan beberapa helai daun muda di sisi-sisinya.

Kali ini aku dibuat bingung karena kuncup bunga itu diterima dengan tangisan. Mungkinkah bocah ini sebenarnya menginginkan sebuah mawar yang mekar? Tapi bagaimana mungkin?

Aku mencoba untuk membuka kuncup-kuncup itu, memaksanya untuk mengembang sempurna. Tapi yang aku dapatkan adalah kecantikan mawar yang menjadi rusak dalam sekejap. Kelopak-kelopaknya berjatuhan, alih-alih menjadi cantik, kuncup mawar itu malah menjadi hancur.

Tak ada lagi tangisan dari bibir kecil itu, yang ada kini hanya tawa riang, mungkin bocah itu merasa lucu akan ekspresiku yang sedih dan melebih-lebihkannya menjadi suatu reaksi jatuh terduduk dengan wajah kesakitan.

Setelah beberapa lama kami bermain, berpelukan, menyanyi dan tertawa. Kaki-kaki kecilnya itu kini beralih ke sepeda kecilnya yang dikayuhnya dari satu ruangan ke ruangan lainnya.

Aku masih di teras samping, dimana suamiku meletakkan pot-pot mawar kesayangan kami. Menatap kelopak-kelopak mawar yang kini menjadi sampah itu. Aku lalu membatin, “Seperti itu pula banyak hal dalam kehidupan, terkadang kita harus membiarkannya terbuka dengan caranya sendiri dan dengan waktunya sendiri.”

Kampung Biru, Rote-Ndao, 28/10-2015.



Jumat, 23 Oktober 2015

Mencintai Diri Sendiri

Mencintai diri sendiri BUKAN berarti membenci yang lain. Ada garis halus antara mencintai diri sendiri dan menjadi sombong. Mencintai diri sendiri, adalah mencintai diri sedangkan menjadi sombong adalah ketika kita mulai berpikir bahwa kita lebih segala-galanya dari orang lain.

Yang sebenarnya aku, saya, kamu, kita, kalian, semua orang yang hidup diplanet ini, apakah dia berkulit hitam - putih, gemuk - kurus, kaya – miskin, berpendidikan -  tidak berpendidikan, konglomerat atau rakyat jelata, semua adalah manusia dan memiliki DARAH yang berwarna sama merahnya. Tidak ada perbedaan antara kita.

CIntai diri sendiri dan akui kecantikan pribadi kita, tetapi jangan berpikir kita lebih baik dari yang lain.


Berikan diri kita sendiri kedamaian dan cinta, dan cintai orang lain sebagaimana kita mencintai diri kita sendiri. 

Senin, 19 Oktober 2015

Pesan Yang dibawa Oleh Tradisi Agama



Saya jarang pake “banget” hehe menonton TV. Kemarin pas lagi santai dan bisa pegang remote bebas menentukan channel mana yang ingin saya tonton, karena si penguasa remote lagi berendam di mata air Oemau bersama kawan-kawannya. Pas buka sekilas Global TV, lihat liputan tentang seorang ustad namanya Yuke kalau tidak salah, mantan anggota Band beraliran Rock, yang penampilannya sudah berubah 180 derajat, dari yang super gondrong, dan metal kini bersorban dengan kening kehitaman, yang menurut cerita teman-teman dikarenakan sering bersujud dalam sholat. 

Namun apapun itu, yang menarik adalah kesaksiannya : “Dulu kalau istri ke LN atau pergi-pergi, saya pasti bilang Yesss, dianya Gak ada, berarti bebas mau ngelakuin apa aja. Tetapi sejak saya mengenal Allah, sekarang saya selalu ingatin ke dia (istrinya) maksudnya dan juga ke diri saya sendiri, besok-besok tanggung jawab kita masing-masing lho, jadi selama hidup mari kita saling dukung untuk berbuat baik. Dan kalau saya pergi atau istri saya sedang keluar, sudah gak ada kata Yesss lagi, tapi tanggung jawabnya lebih ke Allah”. Saya tiba-tiba teringat postingan adik saya berapa bulan lalu : “Apa saja yang diperbuat pasanganmu di luar rumahmu, biarlah itu menjadi urusannya dengan Tuhan." Intinya kurang lebih persis sama. Bedanya Ustad itu sudah tentu beragama Islam dan adik saya beragama Katolik.