Anak perempuan itu berbaju kuning
dengan bawahan rok tumpuk berwarna-warni,
tingginya tidak jauh beda dengan tinggi anak lelakiku. Wajahnya yang
putih, sedikit debu dan kotoran diwajahnya tidak mampu menyembunyikan
kecantikannya. Wajah itu mengeras dan tegang, pandangannya terarah ke depan,
dengan langkah tergesa-gesa menjinjing seikat karung kuning untuk 40 kg beras..
Dia berlalu di hadapanku, yang
sore tadi sedang menunggu ojek yang tak kunjung dating setelah 10 menit berdiri
di depan jalan. Mataku seketika tidak dapat lepas dari anak perempuan itu,
kedua tangannya terus menjaga beban
berat yang ada di kepalanya agar tidak jatuh. ‘Aduh kepalanya tidak sakit kah,
orangtuanya dimana?’ aku terus membatin.
Anak itu pun menghilang di antara
banyak orang yang berjejal, di antara penjaja-penjaja sayuran, beras yang
berbaris rapi di sepanjang jalan. Sore ini Kamis Sore, Kamis sore adalah sore
yang berbeda dari sore-sore biasanya, sore yang ramai, sore yang menyajikan
suasana di kampung, sore yang dipenuhi oleh ine-ine berlawo lambu.
Lama menunggu aku memutuskan untuk
berjalan mencari ojek. Tak jauh di depan sana, di depan pasar ikan, aku
menemukan anak perempuan itu, menyeka keringatnya, menarik napas, mukanya
tampak pucat. . Tidak menunggu lama, aku menghampirinya dan :
Aku : Ade, mau kemana…? Rumahnya
dimana?
Anak perempuan itu : Mau pulang ke
rumah, tanta. Rumah di kilo 4.
Aku : Kilo 4 dimana,…? Depan cabang
sanakah…? Mari tanta bantu angkat. (dan langsung mengangkat karung itu diapun
ikut mengangkatnya, kami berdua mengangkatnya bersama-sama). Betapa kagetnya
aku, karung itu ternyata berat. ‘Tuhan e, ini anak jinjing karung dari atas
sana sampai sini nih dia tidak pusing kah..?’ Saya bertanya lagi Kilo 4 dimana
ade…? Ini isinya apa…?
Anak perempuan itu : kilo 4 depan
lapangan Marilonga tanta, isinya ubi.
What….? Saya tercekat dan
seketika menurunkan karung itu…Itu jauh sekali ade. Kita pakai ojek saja e.
Anak perempuan itu bingung
dan berkata “Saya tidak ada uang ojek, dan nanti tanta bagaimana..?”
‘Sudah tenang saja, nanti ubinya
kita taruh di depan, ade di tengah tanta di belakang e,’ jawabku sambil tersenyum.
Aku memanggil om ojek yang
kebetulan sedang parkir disitu dan kami pun berangkat. Kuperhatikan wajahnya di
atas ojek, wajahnya yang cantik, tangannya keras, tidak gemuk dengan urat-urat
tangannya sedikit tegas seperti hendak mengatakan “tangan-tangan ini terbiasa
mengangkat beban berat”. Aku kembali
bertanya : ‘Ade kelas berapa..?’ “Kelas 4 tanta,” jawabnya. Tiba-tiba aku
menjadi sangat rindu dengan anak lelakiku. Rupanya dia seumuran dengan anakku. Dan
aku Cuma bisa membatin ; “Tuhan..”.
Lapangan Marilonga ada di hadapan
kami ; “di depan sana tanta, yang ada ban itu,” katanya. Kami berhenti disitu,
menurunkan karung kuningnya. ‘Rumahnya yang mana ade?’ Aku mencari-cari ; yang
ada disitu hanya bengkel. “Masih ke dalam tanta, tidak apa-apa biar saya pikul.
Terima kasih tanta.”
Aku Cuma tersenyum tidak bisa
berkata apa-apa,. Terus memandangnya yang setengah menyeret karung itu menuju
rumahnya. Kemudian kembali ke om Ojek, “Kita ke Wirajaya e, Om.”
Setelah itu hingga saat ini
hatiku terus diliputi kebahagiaan, tidak hentinya mengucap syukur. Aku rasa Yesus
ada di dalam diri anak itu. Wajahnya yang polos seperti membawa kehangatan dan
kedamaian dalam hatiku. “Terimakasih Tuhan karena memberikanku kesempatan tadi,
bagiku saat itu adalah Saat pertemuanku denganMU, Terimakasih”