Saya menyambutnya dengan senyum
paling manis ketika ia keluar dari kamar, selesai beristirahat, “Bagaimana Pa.
Sudah agak baikan kah, rasa lebih enak?” jawabannya sungguh di luar dugaan,
jawaban dengan nada tinggi yang jarang saya dengar dari mulutnya dalam hidup
pernikahan kami.
Saya terdiam di meja makan,
melakukan apa yang dimintanya, menahan isak. Ingin sekali saya membalas
perkataanya, namun sekuat tenaga saya menelan kesesakan itu. Perlahan namun
pasti saya akhirnya mampu menguasai kemarahan saya, ditanya baik-baik koq jawabnya
begitu, hanya karena masalah sepele saja. Dalam emosi yang mereda saya
membayangkan Ya ampun, apa yang terjadi jika saya membalasnya hanya karena
masalah sepele ini, bisa terjadi kekerasan dalam rumah tangga itu, dan
anak-anak itu tidak sepantasnya menyaksikannya.
Menit-menit berikutnya saya
mencuci piring dalam diam, memasak dalam diam, tidak ingin bicara, masih kesal
tetapi entah mengapa saya berpikir, “tidak baik seperti ini, toh saya tetap
harus menyiapkan makanan untuknya, menyiapkanya, mustahil tanpa kata-kata,
mustahil menggunakan bahasa isyarat. Maka saya mulai mengajaknya bicara, dan
beberapa saat kemudian dia berkata : “Ma, nanti malam kita keluar kah, mau
kemana?” “Tidak usah Pa, di rumah saja, tidak ada yang perlu dibeli”. Kalimat itu
saya kenal sekali, dia selalu merasa bersalah, ketika tak mampu mengontrol
emosinya dan dengan sangat terpaksa harus menggunakan nada tinggi terhadap
anak-anaknya, maka selalu bisa saya tebak setengah-satu jam kemudian anak-anak
sudah diajaknya pergi untuk membeli jajan, dan ketika mereka menikmati jajanan
mereka dengan senyum dan tawa, dia akan berkata : “Ma e, biar ko dong nikmati
jajannya, pa rasa bersalah su marah dong”.
Di meja makan : “Ma, papa sudah
memutuskan untuk berhenti rokok, tapi papa tidak yakin apa bisa”. Saya
mendongak dan menjawabnya : “Puji Tuhan papa e, mama dukung e. Jangan pikir
tidak bisa papa harus berpikir papa bisa, dan papa pasti bisa…” (Bapa e, ternyata ini yang membuatnya uring-uringan karena hal sepele itu-dia sedang berusaha keras melawan keinginannya untuk merokok).
Saya melanjutkan makan dengan
penuh rasa syukur, Terima Kasih berton-ton ah bahkan berton-ton masih terasa
kurang, terima kasih dengan segenap hati dan pikiran saya.
Mengingat-NYA membuat saya mampu
mengekang lidah saya, dan atas pernyataannya yang sungguh semoga menjadi
jawaban atas doa saya selama ini. Dan BAPA tuntun saya terus agar setiap saat saya bisa menjadi orang bijak yang menaruh lidah saya di atas pikiran saya dan bukan sebaliknya pikiran di atas lidah saya.
Lidah bagaikan kemudi sebuah
kapal besar, walaupun kecil, kemudi tersebut mengendalikan arah seluruh kapal,
dan dengan cara yang sama, lidah akan mengendalikan seluruh kehidupan
seseorang.
Untukmu yang tersayang, jangan
menyerah tetap percaya bahwa engkau mampu.
Mencintaimu sepenuh hati.