Wajahnya hitam, rambutnya
keriting dengan volume yang semakin menipis, di kepalanya yang botak. Jas
bermotif Mbai yang lusuh menjadi baju kebesarannya, menutupi dadanya yang yang
terbalut kaos yang hampir tidak pernah diganti. Ragi Mite menjadi bawahannya
sehari-hari, ragi mite yang juga tak kalah lusuh dari baju kebesarannya.
Giginya juga tak lengkap lagi,
tinggal beberapa buah gigi saja yang mulai menghitam sepekat sirih yang saban
hari dikunyahnya. Matanya memerah, senyum selalu menghiasi bibirnya. Kami
memanggilnya Kakek.
Mama sedang membersihkan halaman
belakang, membersihkan pecahan-pecahan keramik yang ditinggalkan tukang begitu
saja. Saya mencuci piring yang letaknya kebetulan berada di belakang, persis di
depan tempat mama bekerja.
Tak lama kemudian mama ke depan,
dan kakek sudah ada disitu, dengan karung di tangannya, membereskan sisa-sisa
pecahan keramik. Dia duduk berjongkok, memilih dan memasukannya ke dalam
karung. Mulutnya tak pernah berhenti mengoceh tanpa arti yang jelas, tertawa-tawa
sendiri ; kadang dia seperti marah dengan bumi yang ada di hadapannya,
membentak sambil mengetuk-ngetukan jarinya di atas tanah.
Saya memperhatikannya dengan
seksama, dan memecah kesendiriannya dengan bertanya : “Bapak, namanya siapa?” “Nama
aku? Miu biasa panggil hari-hari, tanya lagi nama aku?”, jawabnya. “Oh panggil
bapak saja e”, kata saya. Saya lupa dengan panggilan kakek yang sehari-harinya
terucap dari mulut bapak saya. Baru teringat pagi ini ketika menulis cerita
ini. Kata bapak kakek itu temannya.
Lalu sekedar berbasa basi saya
bertanya lagi : “Bapak, kerja bahasa Lio itu apa?”. Dia mengangkat kepalanya
menatapku sambil tertawa menjawab : “Kalau kerja yang tutup lantai itu ; mai
kema ah saya malah lupa kelanjutannya”. Saya terus mengajaknya ngobrol sambil
mencuci piring, dan dia menjawab dengan semangat. Sesekali saya berbicara
dengannya dengan menggunakan bahasa Lio yang jatuh bangun.
Mama, masih sibuk saja dengan
pekerjaannya, menyortir barang-barang usang. Selesai menyortir barang mama
mulai mengambil sapu di depan kakek dan mulai menyapu sedimentasi yang mulai
menghambat saluran pembuangan limbah. Tiba-tiba kakek berujar sambil
melambai-lambaikan tangannya meminta mama untuk berhenti menyapu : “Biar saja,
nanti saya sapu”, katanya. “Oh begitukah, baik sudah nanti selesai sapu baru
minum kopi e”, jawab mama. Mama pun berlalu. Kakek kembali memilah-milah
keramik itu, sambil berbisik : “Menurut saya itu pekerjaan laki-laki, kamu
perempuan biar di dalam saja. Nanti saya sapu semua”.
Saya yang memang terus memasang
telinga mendengar dengan jelas bisikan itu. Kaget juga terharu. Orang ini
dianggap tidak waras oleh masyarakat sekitar. Dalam ketidakwarasannya dia tetap
waras tentang hal-hal tertentu bahkan punya hati melayani. Masih memegang
aturan lama, bahwa perempuan itu tugasnya di dapur, pekerjaan-pekerjaan kasar
seperti mengangkat batu, dan lain-lainnya itu tugas laki-laki. Sejauh yang saya
tahu dan saya lihat dari kakek nenek dahulu.
Tempatnya di bawah pohon jambu. Disitu
dia kadang duduk sendiri, lebih sering di temani bapak. Bapak sedang tidak di
rumah, mama menyiapkan kopi untuknya dengan beberapa potong kue. Dia menikmati
dengan posisi kaki menyilang di atas
kaki yang lainnya. Merenung jauh, masih
dengan ocehannya. Selesai menenggak kopi itu, dia terus berlalu dengan kresek
merah yang dibawanya kemana-mana. Isinya buku-buku tulis entah mengapa begitu
berarti untuknya.
Saya jadi teringat beberapa waktu
lalu, ketika menelepon bapak dari Rote.
Saya : Bapak sehat? Lagi apa? // Bapak
: Iya sehat. Ini lagi duduk sama teman. Lagi makan siang nih. Kami baru habis
cabut rumput. // Saya : Teman siapa? // Bapak : Kakek.
Mama sudah menceritakan
sebelumnya tentang kakek ini sebelumnya. Saya mencoba mengingat-ingat dan
berkata lagi : “Oh orang gila itu kah?”. Bapak menjawab saya dengan suara
serius dari seberang sana : “Ah jangan begitu ko. Jangan bilang orang gila. Dia
Kakek, temannya bapak”. Saya lalu meminta
maaf karena sudah menyebutnya orang gila.
Kini saya mengerti kenapa bapak
meminta kami untuk memanggilnya kakek. Yah dia memang kehilangan kewarasan
entah karena alasan apa. Tapi Oma pernah bercerita bahwa dia seperti itu sejak
anaknya meninggal. Depresi berat membuatnya menjadi orang tidak waras kambuhan.
Saya belajar sesuatu disini : Orang
tidak waras juga manusia. Sudah selayaknya dia diperlakukan sebagai manusia. Ini
bukan tentang kakek saja. Saya jadi teringat Alm. Leru yang saban hari ada di
rumah Kelimutu, rumah yang kini tinggal menjadi kenangan,sama seperti Leru yang
hanya bisa dikenang kini.
Sejak kemarin saya berjanji untuk
tidak memberi label “Orang Gila” terhadap mereka-mereka yang kehilangan
kewarasannya. Meskipun itu lebih ke reaksi spontan. Orang gila juga manusia,
segila-gilanya mereka, tetap ada hal baik yang tersimpan. Toh, manusia yang
waras saja malah sering melakukan hal-hal gila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar