Rabu, 15 Juli 2015

Orang Yang Tak Waras Itu Kami Panggil Kakek.

Wajahnya hitam, rambutnya keriting dengan volume yang semakin menipis, di kepalanya yang botak. Jas bermotif Mbai yang lusuh menjadi baju kebesarannya, menutupi dadanya yang yang terbalut kaos yang hampir tidak pernah diganti. Ragi Mite menjadi bawahannya sehari-hari, ragi mite yang juga tak kalah lusuh dari baju kebesarannya.

Giginya juga tak lengkap lagi, tinggal beberapa buah gigi saja yang mulai menghitam sepekat sirih yang saban hari dikunyahnya. Matanya memerah, senyum selalu menghiasi bibirnya. Kami memanggilnya Kakek.

Mama sedang membersihkan halaman belakang, membersihkan pecahan-pecahan keramik yang ditinggalkan tukang begitu saja. Saya mencuci piring yang letaknya kebetulan berada di belakang, persis di depan tempat mama bekerja.

Tak lama kemudian mama ke depan, dan kakek sudah ada disitu, dengan karung di tangannya, membereskan sisa-sisa pecahan keramik. Dia duduk berjongkok, memilih dan memasukannya ke dalam karung. Mulutnya tak pernah berhenti mengoceh tanpa arti yang jelas, tertawa-tawa sendiri ; kadang dia seperti marah dengan bumi yang ada di hadapannya, membentak sambil mengetuk-ngetukan jarinya di atas tanah.


Saya memperhatikannya dengan seksama, dan memecah kesendiriannya dengan bertanya : “Bapak, namanya siapa?” “Nama aku? Miu biasa panggil hari-hari, tanya lagi nama aku?”, jawabnya. “Oh panggil bapak saja e”, kata saya. Saya lupa dengan panggilan kakek yang sehari-harinya terucap dari mulut bapak saya. Baru teringat pagi ini ketika menulis cerita ini. Kata bapak kakek itu temannya.
Lalu sekedar berbasa basi saya bertanya lagi : “Bapak, kerja bahasa Lio itu apa?”. Dia mengangkat kepalanya menatapku sambil tertawa menjawab : “Kalau kerja yang tutup lantai itu ; mai kema ah saya malah lupa kelanjutannya”. Saya terus mengajaknya ngobrol sambil mencuci piring, dan dia menjawab dengan semangat. Sesekali saya berbicara dengannya dengan menggunakan bahasa Lio yang jatuh bangun.

Mama, masih sibuk saja dengan pekerjaannya, menyortir barang-barang usang. Selesai menyortir barang mama mulai mengambil sapu di depan kakek dan mulai menyapu sedimentasi yang mulai menghambat saluran pembuangan limbah. Tiba-tiba kakek berujar sambil melambai-lambaikan tangannya meminta mama untuk berhenti menyapu : “Biar saja, nanti saya sapu”, katanya. “Oh begitukah, baik sudah nanti selesai sapu baru minum kopi e”, jawab mama. Mama pun berlalu. Kakek kembali memilah-milah keramik itu, sambil berbisik : “Menurut saya itu pekerjaan laki-laki, kamu perempuan biar di dalam saja. Nanti saya sapu semua”.

Saya yang memang terus memasang telinga mendengar dengan jelas bisikan itu. Kaget juga terharu. Orang ini dianggap tidak waras oleh masyarakat sekitar. Dalam ketidakwarasannya dia tetap waras tentang hal-hal tertentu bahkan punya hati melayani. Masih memegang aturan lama, bahwa perempuan itu tugasnya di dapur, pekerjaan-pekerjaan kasar seperti mengangkat batu, dan lain-lainnya itu tugas laki-laki. Sejauh yang saya tahu dan saya lihat dari kakek nenek dahulu.

Tempatnya di bawah pohon jambu. Disitu dia kadang duduk sendiri, lebih sering di temani bapak. Bapak sedang tidak di rumah, mama menyiapkan kopi untuknya dengan beberapa potong kue. Dia menikmati dengan posisi kaki menyilang di  atas kaki yang lainnya.  Merenung jauh, masih dengan ocehannya. Selesai menenggak kopi itu, dia terus berlalu dengan kresek merah yang dibawanya kemana-mana. Isinya buku-buku tulis entah mengapa begitu berarti untuknya.

Saya jadi teringat beberapa waktu lalu, ketika menelepon bapak dari Rote.
Saya : Bapak sehat? Lagi apa? // Bapak : Iya sehat. Ini lagi duduk sama teman. Lagi makan siang nih. Kami baru habis cabut rumput. // Saya : Teman siapa? // Bapak : Kakek.

Mama sudah menceritakan sebelumnya tentang kakek ini sebelumnya. Saya mencoba mengingat-ingat dan berkata lagi : “Oh orang gila itu kah?”. Bapak menjawab saya dengan suara serius dari seberang sana : “Ah jangan begitu ko. Jangan bilang orang gila. Dia Kakek, temannya bapak”.  Saya lalu meminta maaf karena sudah menyebutnya orang gila.

Kini saya mengerti kenapa bapak meminta kami untuk memanggilnya kakek. Yah dia memang kehilangan kewarasan entah karena alasan apa. Tapi Oma pernah bercerita bahwa dia seperti itu sejak anaknya meninggal. Depresi berat membuatnya menjadi orang tidak waras kambuhan.

Saya belajar sesuatu disini : Orang tidak waras juga manusia. Sudah selayaknya dia diperlakukan sebagai manusia. Ini bukan tentang kakek saja. Saya jadi teringat Alm. Leru yang saban hari ada di rumah Kelimutu, rumah yang kini tinggal menjadi kenangan,sama seperti Leru yang hanya bisa dikenang kini.


Sejak kemarin saya berjanji untuk tidak memberi label “Orang Gila” terhadap mereka-mereka yang kehilangan kewarasannya. Meskipun itu lebih ke reaksi spontan. Orang gila juga manusia, segila-gilanya mereka, tetap ada hal baik yang tersimpan. Toh, manusia yang waras saja malah sering melakukan hal-hal gila.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar