Senin, 29 Juni 2015

Kau Malaikat Bagiku

Anak yang beranjak remaja itu, menumpahkan air matanya di atas bantalnya. Untuk sperma mana yang membuahi sel telur ibunya, yang masih belum jelas kini. Untuk setiap kejadian yang tak henti menari di pelupuk matanya, yang ia saksikan dari kotak lemari sempit, dalam gelap dalam ketakutan. Ketika tubuh ibunya jatuh tersungkur, setelah timah panas itu tepat mengenai dadanya. Dia terus bertanya alasan Tuhan menjadikannya ada di dunia.

Aku menatapnya dalam-dalam merengkuhnya dalam pelukan dan berkata ; “Kau tahu hidupku juga tidak lebih baik dari sekarang. Ada yang hilang dari masa kanak-kanakku. Ketika aku beranjak dewasa semuanya semakin menggila, aku menjadi seorang pecandu alcohol. Pulang ke rumah setelah bekerja, alcohol adalah sahabat terbaikku. Sahabat yang selalu dapat membantuku untuk bisa tertidur pulas, tanpa harus aku berperang keras melawan kesepianku. Hidupku gelap tak bercahaya. Lalu semua berubah, ketika tangan malaikat yang dapat kusentuh, tubuh mungil yang dapat kupeluk itu kutemukan di balik sebuah lemari, di tempat kejadian perkara, persis ketika aku bersama rekan-rekanku mendapati tubuh ibumu yang bersimbah darah. Hidupku berubah sejak saat itu. Aku memutuskan segera hubungan baikku, persahabatanku dengan botol-botol minuman. Aku ingin segera pulang ke rumah ketika jam kantorku selesai, untuk mendapatimu, untuk menyiapkan makananmu, botol susumu, bermain denganmu, mengganti popokmu balita 3 tahun kesayanganku. Kau tahu, Tuhan menjadikanmu ada di dunia ini, untuk menjadi sahabat terbaikku, untuk menemani satu jiwa kesepian, dan untuk memberikan jawaban atas pertanyaan yang sama denganmu, mengapa Tuhan menjadikan aku ada, yaitu untuk menjadi sahabatmu”.

Aku menyeka air matanya, remaja kulit hitam yang baru saja menemui seseorang yang diketahui mungkin ayahnya. “Oh, jadi kau anak brengsek yang lahir dari rahimnya itu? Sudah besar kau rupanya. Kau tahu banyak yang berkata bahwa kau adalah anakku, tapi bagiku kau bukan anakku, setelah aku dapati ibumu juga tidur dengan bajingan-bajingan yang lain. Dan waktu itu aku menggedor pintu rumah  ibumu bukan untuk membunuhnya, aku hanya meminta bagianku  atas hasil penjualan narkoba yang disimpan ibumu. Aku terlanjur ditangkap polisi karena memukul teman tidur ibumu dan harus dipenjara selama 6 bulan. Timah panas itu bukan aku yang menembakannya”. Dia hanya terdiam di hadapan pria kekar itu. Dan aku hanya bisa menarik napas dari balik kaca jendela.

“Kau tahu Simon?” tanyaku. “Ya, dia sangat baik padaku. Dia mengupaskan apel merah itu ketika kita pergi mengunjunginya”, jawabnya. “Dia seorang pecandu alcohol juga dahulu, dia selalu memukulku ketika mabuk atau Ana ketika berusaha membelaku. Aku tak tahu apa yang salah denganku. Semua tekanan masa kecil itu membawaku juga kepada botol-botol alcohol sebelum aku bertemu denganmu, 12 tahun yang lalu. Dia berubah ketika Ana, ibuku pergi untuk selama-lamanya. Penyesalannya seperti menjadi sarkofagus buat dirinya, setelah di tampar ketidahadiran abadi Ana. Jadi apakah kita adalah korban dari pecandu narkoba, atau alcohol dari orang tua kita dahulu, aku ingin kau tahu bahwa kau tidak hidup sendiri. Kau adalah malaikat bagiku”. Aku memeluknya lagi, dan membaringkannya, menyelimutinya kemudian berjalan menuju ke pintu.


“Tidurlah yang nyenyak, kelas barumu dimulai besok tepat pukul 8”, kataku. 

15 menit kemudian, aku berdiri di depan pintu menatapnya dalam keremangan cahaya lampu dan bias sinar rembulan yang jatuh tepat di atas wajahnya, balita mungilku yang beranjak remaja. “Terimakasih malaikatku, untuk kehadiranmu dalam duniaku”. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar