Senin, 14 Desember 2015

D O A


Doa berawal dari hati yang gelisah,
Dengarkanlah gejolaknya

Doa adalah suatu kerinduan terhadap rumah kita yang sebenarnya.
Ikutilah bimbingannya

Doa itu seperti kebun.
Peliharalah maka doa akan berbuah

Doa bisa dilakukan dengan berbagai cara.
Lakukanlah sesuai dengan cara Anda

Berdoalah selalu, tapi jadwalkan juga waktu khusus.
Roh, seperti halnya badan, membutuhkan latihan-latihan teratur

Nugget Pisang



 Selama ini jika mendengar kata nugget yang mampir dalam pikiran adalah daging. Daging ayam atau daging ikan. Dan yang menjadi karakteristiknya adalah tepung panir atau tepung roti. Pertama kali lihat resep ini langsung ingin mencoba membuatnya, secara pembuatannya tidaklah susah, dan membayangkannya sudah pasti nikmat di lidah.

Nugget pisang menjadi menu camilan andalan buat suami dan anak-anak di rumah sejak saya mencoba membuatnya beberapa bulan lalu. Namun berhubung pisang musiman adanya di Rote sini, jadi buatnya pas lagi banyak pisang. Tidak sama di Ende dimana pisang dijual dengan harga 15rbu/2 sisir. Di Rote Cuma bisa bawa pulang 1 sisir dengan uang 15 ribu.

Berikut saya share bahan dan cara pembuatan Nugget pisangnya.
 Bahan :
1 sisir pisang kepok.
Bahan pelapis
Tepung terigu
Tepung beras
Garam
Sedikit mentega
SKM 1 sdm.
2 sdm gula pasir          
Tepung Panir.
Cara membuat :
Bahan pelapisnya dicampur menjadi satu, sayangnya saya tidak menggunakan takaran, pake feeling saja. Kurang lebih sama ketika membuat adonan pisang goreng.

Pisang kepok di belah dua ada juga yang dibentuk menyerupai kipas, tapi kami seisi rumah sukanya yang tipis potongannya. Pisang yang sudah dibelah, dicelup ke dalam bahan pelapis, lalu ditaburi dengan tepung panir hingga tertutup semuanya, tinggal di goreng satu-satu.

Biasanya satu sisir itu dibagi dua. Adonan yang sudah dilaburi tepung panir dimasukkan ke dalam kulkas tinggal digoreng keesokan harinya.

Rasanya enak, kriuk-kriuknya mantap. Dan sudah pasti anak-anak suka. Jadi jika bisa dibuat sendiri, kenapa harus membeli?

Selamat mencoba.

Jumat, 11 Desember 2015

Brownies Gulung



Sudah dari beberapa waktu lalu ingin sekali bisa mengeksekusi brownies gulung. Langkah-langkah pembuatannya kurang lebih sama dengan
cara membuat japannese Roll Cake, dimana pengocokan kuning telur dan putih telur dipisah.

Setelah selesai membersihkan rumah, mulailah eksekusi brownies dimulai dengan mencairkan mentega dan melarutkan cokelat didalamnya. Mengukur bahan, memixer bahan, mencampur adonan kutel dan putel, hingga membakar. Rasa yang sama setiap mencoba resep baru adalah deg-degan, jadi tidak, jadi tidak, mengembang tidak, mengembang tidak, dan tara not bad for a first trial. 

Selesai mengoven, kebingungan mana yang atas dan mana yang bawah, ditambah lagi dengan teriakan si balita yang meminta perhatian atas keberhasilannya mengidentifikasi Fish dan Elephant, dan akhirnya tebolak balik. Yang harusnya di luar jadinya di dalam dan yang harusnya di dalamnya jadinya di luar. :) 

Setelah mengolesi selai strawberi, menggulung, dimasukan ke kulkas. Tibalah saat untuk memotongnya, dan it’s so yummi, nyokelatnya pakai banget. So tak apalah penampilan luarnya retak-retak, buat makan sendiri yang penting rasanya..:)

Buat saya tidak jadi masalah, coba sekali tidak sempurna. Setelah dilihat kembali ternyata ada langkah yang tertukar, dan kepanikan ketika menunggu adonan mengembang di dalam oven. Kata kakak-kakak yang ahli ; jangan dibuka dulu hingga 20 menit, tapi saya sudah mengintipnya di 10 menit pertama….:). 

Dan nikmatnya proses pembelajaran itu yah disitu, disaat membuat kesalahan, bahwa ada semangat baru untuk mencobanya kembali hingga berhasil. 

Teman-teman resepnya nyusul yah. Saya masih harus mencuci perkakas kotor sekarang….

Sebuah Renungan

Hugo, berselonjor di atas kursi kerjanya. Ia tak duduk tegap seperti biasa ketika ia bekerja, kakinya direntangkan panjang-panjang, kepalanya terlihat hampir sejajar dengan bagian atas kursi itu. Asap rokok terlihat mengepul di sekitar, dia begitu menikmati kegiatan merokok, begitu santai begitu relaks, dengan sebelah tangannya menopang di lengan kursi itu. Sesekali ia tersenyum melihat putri kecilnya yang berlarian ke sana kemari, sibuk membagi waktu antara menghabiskan segelas susunya dan menyusun mainan-mainannya.

Carmenita, istrinya sedang menyapu ruangan yang bersebelahan dengan tempat dimana Hugo sedang duduk menikmati sebatang rokok. Ia hanya menarik napas panjang, kerinduannya untuk melihat sang suami bisa berhenti total merokok dan mulai memperhatikan kesehatannya seperti beranjak pergi menjauh. Ia mulai jarang mendoakannya, sepertinya ia sedang marah dengan Tuhan. Meskipun ia tahu energi Illahi sendiri memintanya untuk terus berdoa. Dia masih terus berdoa setiap saat, tapi belakangan kekhusuyukannya mulai berkurang, ia mulai jarang memegang manik-manik kecil dan mungkin hal itu jugalah yang membuat hidupnya terasa semakin berat, terasa sulit baginya untuk menerima beberapa hal dalam hidup. Hal-hal ini dan masih banyak lagi yang selalu menjadi bahan peperangan dalam batinnya.
Ia mulai bertanya pada Tuhannya ; kenapa Tuhan mengambil orang-orang tersayangnya?

Selasa, 01 Desember 2015

Rinduku untukmu, Ayah.


Di aroma tanah basah awal desember,
mencoba untuk membauimu,
di setiap sudut-sudut rumah.

Aromamu tak beraroma lagi kini,
selain aroma basahnya sepetak tanah,
dan taburan kembang-kembang dalam sekali ziarah,

Jasadmu telah membumi,
kenangan akanmu ;
hidup di setiap cerita
di pagi hari,
di siang hari,
di malam hari,
akan hidup di benak cucu-cucumu,
yang lahir saat kau masih di bumi,
dan yang teriakan dan tangisannya
tak mampu memanggilmu pulang,
mereka yang belum sempat kau sentuh,
 sejak pendaratannya di bumi.

Ayah, ada sejuta rindu untukmu,
Terkadang aku takut,
tapi aku tahu dari duniamu saat ini,
ada seribu doa kau naikkan,
untuk kami.

Aku tak sendiri,

Sadar bahwa kita masih saling bergandengan,
bahwa kita hanya bersekatan ruang tipis tak terlihat,
cukup membuatku kuat.

Ini rinduku untukmu, Ayah.
Rinduku untukmu.

Untuk dia yang mendarat di bumi, di 12 Desember.
Penuh cinta untukmu selalu, Ayah.