Aku membasuh punggungnya yang tak
berbaju tertimpa mentari pagi, semakin basah oleh cipratan-cipratan air yang
dimainkkannya dalam tawa.
Selanjutnya kubiarkan dia
menikmati waktunya, berendam dan bermain air di dalam bak.
KUpandangi sekelilingku, sepetak
pekarangan yang kini tak berumput untuk sementara waktu, cukup puas sudah
mencabuti semua rerumputan liar itu. Hijaunya dedaunan, basahnya tanah dan daun
seperti membawa kedamaian yang dalam sekali.
Seketika aku merasa begitu
cantik, memiliki tangan yang tak halus yang cukup kuat untuk mencabut
rerumputan, untuk mencuci piring dan pakaian, menggosok kamar mandi, memasak
dan menguleni roti, memiliki tumit yang pecah-pecah karena kaki yang sering
terkena air cucian, atau tanah berlumpur, kulit yang menghitam karena beberapa
saat harus bertahan di bawah mentari, dan ukuran celana yang tak lagi sama
seperti 10 tahun lalu, lemak yang bergelambir sejak melahirikan seorang anak
laki-laki dan seorang anak perempuan.
Semua penampilan fisik itu
tidaklah menjadi masalah besar bagiku. Bukan berarti aku tidak merawat tubuh.
Aku membersihkan wajah serutin yang aku bisa, membersihkan kotoran-kotoran di
tubuh dengan menggunakan batu apung yang kutemukan di pinggir pantai ketika
terakhir kali ke pantai bersama suami dan anak-anak, karena aku tak tahan harus
berlama-lama luluran (that’s not me). Aku memberikan perawatan yang cukup baik
ke atas rambutku, shampoo+conditioner sudah cukup, dan untuk alasan kesehatan
serta kenyamanan aku mulai belajar mengalahkan rasa malasku, mengenakan sepatu
di sore hari dan mulai berlari meskipun hanya 3 kali putaran disertai senam
karate sebisa mungkin. Itu semua sebagai rasa tanggung jawabku atas apa yang
Tuhan berikan padaku tubuh tanpa cacat yang harus dirawat dan dijaga.
Di atas itu semua aku merasa
sangat cantik, untuk setiap masa lalu yang telah terlewati, untuk setiap
kesukaran, untuk setiap air mata, untuk setiap cobaan, yang mendaratkan aku
pada saat ini, dengan pemikiran, dengan pembelajaran yang luar biasa. Aku
berterimakasih untuk itu semua Tuhan. Damai itu begitu dalam dan terasa,
rasanya seperti dilingkupi kasih yang begitu besar.
Aku tersenyum dengan tulus kepada
tumbuhan kemangi, tomat, Lombok, merungga, papaya yang ada dihadapanku,
tersenyum terhadap semesta yang memberikan kedamaian yang indah, aku yakin DIA
ada.
Aku berpaling ke gadis kecilku,
dia masih menikmati dinginnya air. Aku berbisik lirih kepadanya hampir tak
terdengar : Anakku, jika kau besar nanti milikilah perasaan cantik karena kasih
yang terus bertumbuh dalam dirimu, kasih yang tulus. Jangan berusaha menjadi
cantik hanya untuk ukuran cantik semu yang didefinisikan oleh iklan-iklan TV.
Jadilah cantik dengan menjadi dirimu sendiri, yang tulus, yang apa adanya, dan
yang jujur, dan yang senantiasa takut akan Tuhan. Di sudut ruang hatimu yang
kosong, hadirkan DIA yang maha segala-galaNYA, biar kecantikanmu terpancar
karena kasih yang hadir lewat kehadiran-NYA.
Refleksi beberapa menit, sehari
sebelum usiaku bertambah satu, ketika memandikan putri kecilku.