Jumat, 26 April 2019

Masih Dua

Mama membersihkan sawi,
menguliti bawang,
tungku mengepul, 
minyak goreng dalam penggorengan,
jadilah tumis sawi.
Mama menyapu
baju bekas dan lantai karpet saling gesek.
"Aaahhh," teriakan batita.
derap kaki berlari,
mendapati buah anaknya,
meniup jempol mungil
yang terjepit penghalang pintu.
satu dua bujukan,
tangis senyap, tawa terurai
Lantai kembali digosok.
Ikan bakar, sambal kecap,
menyusul kehadiran tumis sawi
di meja makan.
Selama itu pelukan, kecupan,
mengganti celana, membuat susu si batita,
sudah memberi koma di seluruh aktivitasnya.
Tangan Mama masih dua,
dua yang ia pakai untuk menyelesaikan
empat, enam, delapan pekerjaan.
Lelah? Iya.
batita sehat, suami terurus mengusir jauh kata lelah.
Batuplat, 27April2019

Selasa, 23 April 2019

Pisau Ikan


Gambar : Pinterest
“Dari mana kau belajar memasak?”

“Enak . . .?” Mikori tak membutuhkan jawaban sebenarnya, ia yakin masakannya enak. Ia tak pernah melihat seseorang menikmati makanan seperti pemandangan yang ada di hadapannya kini. Empat jenis masakannya itu, ikan bumbu cuka, kwetiau goreng, patola tumis, telur asin benar-benar hampir tandas. 

Haka hanya mengangguk nikmat. Mulutnya penuh, seputaran bibirnya berminyak, dua utas mie masih tergantung di depan bibirnya yang bentuknya kini lebih menyerupai moncong ikan, berusaha menarik mie untuk ditenggelamkan ke dalam perutnya.  

“Ibuku tak suka memasak. Dan aku bosan hanya memakan sup daun ubi, tempe goreng, ikan goreng, daging asap dengan rasa yang sama meskipun menunya diganti-ganti. Suatu ketika, ibu sakit dan tak berangkat ke kantor. Aku tak pernah tahu dan tak pernah bertanya di mana ibu memesan makanan yang selalu dibawanya setiap pagi menjauhi setengah hari - sepulangnya dari kerja. Menu makan siang dan malam andalan kami. Selama dua hari kami hanya memakan mie instant.”

Midori menopang dagu, kenangan terus mengalir dari bibir mungilnya. 

“Usiaku lima belas tahun kala itu. Sebelum senja ditelan malam dan lampu toko buku milik ayahku dimatikan, aku mengayuh sepeda ke sana. Tentu saja ayah keheranan ketika aku berdiri mematung di rak buku tempat buku-buku memasak dipajang. Kuambil secara acak satu buku dan kubawa pulang. Pilihanku tak salah. Buku itu menyita hidupku di samping pekerjaan-pekerjaan rumah yang harus aku kerjakan. Ibu berangkat kerja di hari ketiga lalu sup daun ubi, tempe goreng menggeser posisi Pop Mie. Di hari keempat aku meminta pisau yang bentuknya mirip setengah pohon cemara yang terbuat dari kertas. Buku petunjuk mengatakan pisau jenis itu bagus untuk membuat filet ikan. Aku ingin sekali bisa memilikinya. ‘Tidak, aku tidak punya uang.’ Jawaban ibu membuatku akhirnya harus memakan sup daun ubi yang aku panaskan di pagi hari. Tas punggungku menjadi lebih berat setelah dijejali dua kotak makan dan sebotol air. Seminggu kemudian aku menjadi sangat kenyang hanya dengan melihat Ayah, Ibu, dan Kakakku menikmati fillet kare ikan, menu baru juga sebuah pisau ikan dari  uang jajan yang tak aku apa-apakan selama seminggu.”

Haka memandang sekeliling. Dapur itu kini dipenuhi peralatan memasak yang cukup lengkap. 

“Apakah setelah itu ibumu lalu memberikanmu uang untuk membeli perkakas dapur yang kau butuhkan?”

“Tidak. Aku harus rela tidak membeli bra baru selama tiga bulan hanya untuk berhemat. Aku mencucinya di malam hari, mengeringkan dan memakainya kembali esok,” Mikori berjalan menuju kitchen kabinet, membuka salah satu lacinya, mengambil sesuatu berbalik dan menunjukku dengan panci aluminium bergagang.  “Ini adalah panci pertama yang aku beli,” katanya penuh rasa bangga.

“Ibuku meninggal dua tahun lalu. Kanker menggerogoti saraf-saraf di otaknya. Ibu sudah meminum banyak obat tapi tak sembuh. Setelah didera penderitaan yang sungguh-sungguh dan betapa merepotkan orang-orang disekelilingnya, eutanasia menyudahi semuanya. Terkadang aku masih terus berpikir, betapa menyedihkan seseorang mati dengan cara seperti itu.”

Haka tak lagi mengunyah makanan. Ia kini memperhatikan perempuan tomboy yang dikenalnya dari salah satu kelas sastra di kampusnya. Mikori menghabiskan makanan sisa yang cukup untuk perut kecilnya. Sendok perak tebal itu sesekali terparkir di bibirnya usai ia menyuap sesendok makanan ke dalam mulut. 

“Setelah kepergian ibu, aku ditunjuk Ayah untuk mengurusi semua urusan rumah tangga ini. Ayah tak pernah bertanya detail belanja dan aku mulai membayar semua rasa hausku untuk gairah yang aku temukan saat ibu sakit dan Pop Mie seperti menggaruk-garuk isi perutku membuatku ingn memuntahkannya kembali. Ibu mungkin akan berteriak dari dalam kubur memintaku berhemat, jika melihat bagaimana rakusnya aku, membeli dan mengoleksi semua alat memasak ini. Tapi, kurasa, Ia juga pasti akan tersenyum melihat putra dan belahan jiwanya memakan beraneka makanan bergizi dan bervariasi.  Sayang sekali Ibu tak sempat mencicipi menu-menu istimewa yang diajarkan oleh buku-buku dengan tingkat kesulitan di atas pemula kepadaku.”

“Ah kenapa aku jadi seperti ini?” Mikori cepat-cepat mengusap wajahnya setelah sadar bahwa ia sudah menangis. Di depan seorang lelaki. Hal yang hampir tak pernah terjadi dalam hidupnya sebelumnya.

Ia bangkit berdiri mengemasi semua perkakas makan yang kini nampak persis sama di iklan-iklan cairan pencuci piring, penuh noda berlemak. “Tidak, kau duduk saja di situ. Ada beberapa botol sopi di kulkas. Ambil dan nikmatilah, biar aku yang menyelesaikannya,” kata Mikori. Tangannya menepuk bahu Haka memintanya untuk tidak bangkit. 

“Apakah kau selalu meminum bir?” tanya Haka. Ia merasa seperti sedang menggenggam segumpal es. Bir itu pasti sudah berada di kulkas enam bulan atau setahun lamanya. Sangat dingin. 

“Tidak. Ayah dan kakakku juga bukan peminum. Bir di kulkas itu memang diperuntukkan untuk tamu.”

“Lalu di mana mereka?”

“Kakakku pasti sedang keluar dengan pacarnya. Ayahku tak di sini. Ia sudah pergi jauh.”

“Pergi jauh? Kemana?”

“Uruguay.”

“Urugay?”

“Yah. Hingga setahun kepergian ibu. Ayah sangat depresi. Ayah selalu mengatakan, ‘Kenapa tidak kalian berdua saja yang meninggal dan harus dia? Sungguh sebuah jenis cinta sejati menurutku. Kami sudah melarang Ayah untuk pergi. Tapi Ayah tetap menerima ajakan sahabat lamanya mengembangkan sebuah bisnis pemasaran ikan di sana. Sekali dua Ayah menulis surat, dan sejak balasan surat terakhirku. Aku tak pernah menerima kabar dari Ayah lagi.”

Mikori mengenakan jeans ketas dan baju kaos tak berlengan yang menutup pusarnya. Haka baru sadar kalau pinggang Mikori begitu kecil dan ia tampak begitu natural dalam balutan jeans dan kaos itu. Ia tentu tidak sedang mabuk bir. Tapi ia tahu betul ia sedang mabuk sesuatu entah apa namanya. Sesuatu yang mendorongnya untuk memeluk Mikori dari belakang untuk melindunginya. Di luar pagi telah pergi meninggalkan hari. Gelap lalu mengurai hari, dari dapur hingga kamar - waktu berjalan melambat. 


Sabtu, 06 April 2019

Ulasan Para Pelacurku yang Sendu


Buku berjudul Pelacurku yang Sendu karangan Gabriel Garcia Marquez setebal 133 halaman ini dibuka dengan kalimat dari seorang Profesor yang tidak memiliki pekerjaan lain selain menulis selama hampir lebih dari setengah abad usianya, “Pada usiaku yang kesembilan puluh, ingin kuhadiahi diri sendiri dengan satu malam yang berluapan cinta liar bersama seorang perawan dewasa”. Kalimat pembuka yang sangat kuat dan menarik.

Ide yang membuatnya menghubungi Rosa Cabarcas, pemilik rumah terlarang, yang sebelum dua puluh tahun berlalu, pernah menawari profesor segala model perempuan dan selalu ia jawab tidak.
Rosa menghadirkan untuknya seorang anak perempuan empat belas tahun yang masih perawan yang hanya punya waktu singkat karena ia harus memberi makan adik-adiknya, menidurkan mereka juga membantu ibunya yang terkena rematik. Mereka bertemu pada pertemuan pertama, kedua, dan si profesor tak pernah menyentuh sedikitpun tubuh perempuan telanjang yang berbaring di salah satu kamar milik Rosa Cabarcas.  Perempuan yang tak pernah ia ingin ketahui namanya, selain Delgadina, nama yang ia berikan di malam pertama mereka bertemu, nama gadis dalam impiannya atau nama kapal Columbus yang terkecil.

Gabriel menguraikan karakteristik orang tua - saat profesor menginjak usia lima puluh tahun di mana ia sering mengalami kejadian lupa - dengan sangat baik. Profesor sering mencari kacamata ke seluruh pelosok rumah dan ternyata ia kenakan, sarapan dua kali dalam sehari karena lupa bahwa ia sudah sarapan sebelumnya, atau menceritakan kembali hal-hal yang pernah diceritakan. Ia juga mengutip perkataan, Cicero – seorang cendekiawan di masa Romawi kuno) bahwa, “meskipun orang tua suka melupakan hal-hal remeh temeh, mereka tak pernah lupa di mana hartanya berada.”

Pada akhirnya bersama Delgadina ia menemukan pengalaman tidak menjadi dirinya sendiri dan menemukan fakta bahwa ia jatuh cinta. Ia kehilangan nafsu makan, bobot tubuhnya turun, celananya longgar, linglung atau tidak bisa melakukan hal-hal berarti saat malam tiba dan kolom-kolom yang ditulisnya bersarat cinta.

Ia melewatkan usia sembilan puluh satu tahunnya bersama Delgagina, saling bergandeng tangan di ranjang yang sama di rumah terlarang Rosa Carbacas. Mungkin itu adalah saat pertama ia meniduri Delgadina yang terus berlanjut hingga usianya menginjak seratus tahun lebih. Seperti yang dikatakan oleh Rosa Carbacas kepadanya, “Makhluk malang itu jatuh cinta habis-habisan terhadapmu.”

Ini adalah buku kedua Gabriel setelah Love in The Time of Cholera. Yang sangat mengusik adalah mengapa selalu ada bagian cerita kehidupan seks gadis-gadis di bawah umur dalam cerita-ceritanya. Mungkinkah ia sedang mengangkat isu-isu incest atau pelacuran gadis-gadis di bawah umur yang terpaksa melakukan dan dengan sukarela menikmati?

Buat saya, saya selalu suka Gabriel. Caranya bercerita, alurnya yang tak teratur, diksi yang padat, kutipan-kutipan yang mengena selalu meninggalkan jejak dalam hati.  Dan, seperti biasa saya bakal membutuhkan tiga hingga empat hari untuk bisa sedikit merenggangkan ingatan terhadap kisah ini.  

“Cinta memang tak pernah mengenal batas usia”


Antonetta MLengo
Rote, 07April2019