Jumat, 16 Agustus 2019

Anak-anak Rote dan Cerita Tanah Air

Makna kemerdekaan jika bisa dirumuskan dengan kata-kata yang sederhana,  maka biarlah kemerdekaan itu berarti merdeka dari mental membuang sampah sembarangan,  merdeka dari mental malas belajar, dan merdeka dari kata menyerah pada keterbatasan yang ada.  

Kemerdekaan kiranya juga bisa berarti kebebasan untuk bisa mengakses pendidikan,  bacaan,  dan juga bebas dari segala usaha untuk memecah belah bangsa.  

Di hari kemerdekaan ini,  beberapa tulisan karya anak-anak yang  berbicara tentang tanah air mereka,  semoga bisa menjadi persembahan untuk negeri ini.  

Lapangan Kota Ba'a

Lapangan kota Ba'a adalah lapangan hijau yang dilengkapi sebuah panggung,  lapangan bola voli, dan sekolah-sekolah di seberang kiri dan kanan jalan.  

Di sore hari,  saya biasa ikut Ayah untuk pergi membeli ikan di Ba'a.  Saat melintasi lapangan ,  saya melihat orang-orang membuang sampah sembarangan.  Apalagi pada saat ada acara besar seperti saat ini yaitu pameran dan lomba-lomba lain seperti menyanyi,  menari dan pertandingan bola voli,  sampah - sampah dibuang begitu saja.  

Harapan saya adalah pemerintah/Bupati Rote Ndao untuk lebih memperhatikan sampah - sampah yang ada di lapangan Ba'a.  Dan menegaskan orang-orang agar tidak membuang sampah sembarangan lagi.  

Rote,  12 Agustus 2019
Dicky L.Lada,  siswa kelas VII,  SMPK Mother Ignacia. 

Ketika anak-anak berbicara tentang sampah.🤗🤗🤗

Sampah Plastik di Pantai Tiang Bendera

Aku tinggal di Rote Ndao,  NTT.  Kampung halamanku berada di kecamatan Pantai Baru.  Namun,  aku pindah ke Ba'a.  Rumahku terletak di jalan ABRI.  Di lingkungan yang baru,  aku pun mendapat sahabat yang baru. 

Ketika aku dan kedua orang tuaku pergi ke pantai yang bernama Tiang Bendera,  aku sangat senang melihat pemandangannya.  Pantai itu nampak indah dari atas bukit.  Laut dan pasirnya masih terjaga keasrian juga keindahannya. 

Ada rasa sejuk dan adem setiap aku pergi ke sana.  Sayangnya, keindahan pantai tersebut sudah mulai memudar karena sampah plastik yang bermunculan di sekitar pantai.  

Karena itu banyak warga termasuk aku,  ayah dan ibuku yang saat itu sedang berada di sana membersihkan seluruh sampah tersebut.  

Aku berharap,  keindahan dan keasrian pantai tersebut akan terus terjaga hingga kapanpun. 

Rote,  12 Agustus 2019
Marsha CH. J. Dopen. Siswi kelas VII,  SMPK Mother Ignacia. 

Nusa Seribu Lontar

Pohon lontar adalah salah satu sumber kehidupan masyarakat Rote Ndao.  Pohon ini memiliki banyak manfaat seperti,  daun yang digunakan untuk atap rumah,  buahnya yang dimakan,  batang pohon untuk membuat rumah,  pucuk daunnya digunakan untuk menganyam,  dan tulang daunnya untuk membuat sapu.  

Karena banyak manfaatnya,  pohon lontar selalu ditebang,  hingga keberadaannya berkurang dan sulit dicari. 

Karena pohon lontar merupakan tanaman khas Rote Ndao,  maka Rote disebut Nusa Seribu Lontar.  

Rote,  12 Agustus 2019
Dewa Ayu Laura Anjani,  siswi kelas VII,  SMPK Mother Ignacia

Ketika mereka berbicara tentang di bawah langit mereka bernaung. 🤗🤗🤗


Semangat Bangsa Indonesia Melawan Penjajah

Para pahlawan bangsa, 
Berkorban nyawa membebaskan bangsa Indonesia dari para penjajah.  

Para pahlawan bangsa,  
Berkorban nyawa untuk mewujudkan NKRI. 

Semangat para pahlawan bangsa Indonesia,  
takkan pernah hilang dari pikiran kami, 
Semangat pembebasan atas penjajah. 

Rote,  12 Agustus 2019
Eliana M.  Manafe,  siswi kelas VII,  SMPK Mother Ignacia.


Rumah Mosalaki

Mosalaki adalah rumah adat khas masyarakat Rote Ndao.  Atap rumah ini berbentuk trapesium dan tersusun dari daun-daun pohon lontar yang sudah mengering.  

Rangka rumah dan dinding-dindingnya terbuat dari pohon lontar. Lantai rumah ini sangat sederhana,  tanpa semen atau keramik, hanya beralaskan tanah.  Perabot yang ada juga serba sederhana.  

Saat menginjakkan kaki ke dalam rumah ini,  akan terlihat beberapa bangku panjang yang juga terbuat dari batang pohon lontar. Bangku - bangku tersebut biasanya dipakai untuk duduk atau beristirahat.
 
Rumah ini terdiri atas dua tingkat.  Tingkat paling atas dipakai untuk menyimpan padi hasil panen. Selain itu,  tikar dari anyaman daun lontar juga dibentangkan untuk beristirahat.
 
Rote,  12 Agustus 2019
Indyana S.  J. Ully 
Siswi kelas VII,  SMPK Mother Ignacia



Rabu, 14 Agustus 2019

Terima Kasih Ibu

Membuat cerita tentang Ibu,  Ayah,  Adik,  atau binatang peliharaan adalah tugas pertama yang saya berikan kepada anak-anak kelas VII di tempat saya mengajar.  

Hasilnya banyak dari mereka yang bisa mendeskripsikan orang-orang terdekat mereka dengan cukup baik. 

Salah satunya adalah teks deskripsi yang ditulis oleh seorang siswi bernama Honey.  

Terima Kasih Ibu

Ibu saya bernama O E N.  Ibu sangat berarti dalam hidup saya.  Tanpa Ibu,  saya tidak akan berada di dunia.  Setiap pagi,  ibu selalu bangun pukul 04.35 untuk beraktivitas seperti membuat sarapan, menyiapkan pakaian dan aktivitas lainnya.  

Saya sangat mencintai ibu saya. Tapi,  jika ibu marah,  saya sangat tidak suka karena seperti monster yang terbangun dari tidurnya. Tapi saya tahu bahwa ibu marah karena ulah saya dan kemarahan seorang ibu adalah suatu nasehat yang diberikan kepada saya agar perilaku saya yang tidak baik tidak diulang lagi.  

Ibu adalah seorang pahlawan dalam keluarga yang tak kenal lelah.  Ibu pernah sakit karena lelah bekerja.  Walau sakit, ibu terus bekerja demi kami anak-anak nya.  Terima kasih Ibu. 

Honey D. C. W. Boelan
Siswi kelas VII,  SMPK Mother Ignacia

Jumat, 26 April 2019

Masih Dua

Mama membersihkan sawi,
menguliti bawang,
tungku mengepul, 
minyak goreng dalam penggorengan,
jadilah tumis sawi.
Mama menyapu
baju bekas dan lantai karpet saling gesek.
"Aaahhh," teriakan batita.
derap kaki berlari,
mendapati buah anaknya,
meniup jempol mungil
yang terjepit penghalang pintu.
satu dua bujukan,
tangis senyap, tawa terurai
Lantai kembali digosok.
Ikan bakar, sambal kecap,
menyusul kehadiran tumis sawi
di meja makan.
Selama itu pelukan, kecupan,
mengganti celana, membuat susu si batita,
sudah memberi koma di seluruh aktivitasnya.
Tangan Mama masih dua,
dua yang ia pakai untuk menyelesaikan
empat, enam, delapan pekerjaan.
Lelah? Iya.
batita sehat, suami terurus mengusir jauh kata lelah.
Batuplat, 27April2019

Selasa, 23 April 2019

Pisau Ikan


Gambar : Pinterest
“Dari mana kau belajar memasak?”

“Enak . . .?” Mikori tak membutuhkan jawaban sebenarnya, ia yakin masakannya enak. Ia tak pernah melihat seseorang menikmati makanan seperti pemandangan yang ada di hadapannya kini. Empat jenis masakannya itu, ikan bumbu cuka, kwetiau goreng, patola tumis, telur asin benar-benar hampir tandas. 

Haka hanya mengangguk nikmat. Mulutnya penuh, seputaran bibirnya berminyak, dua utas mie masih tergantung di depan bibirnya yang bentuknya kini lebih menyerupai moncong ikan, berusaha menarik mie untuk ditenggelamkan ke dalam perutnya.  

“Ibuku tak suka memasak. Dan aku bosan hanya memakan sup daun ubi, tempe goreng, ikan goreng, daging asap dengan rasa yang sama meskipun menunya diganti-ganti. Suatu ketika, ibu sakit dan tak berangkat ke kantor. Aku tak pernah tahu dan tak pernah bertanya di mana ibu memesan makanan yang selalu dibawanya setiap pagi menjauhi setengah hari - sepulangnya dari kerja. Menu makan siang dan malam andalan kami. Selama dua hari kami hanya memakan mie instant.”

Midori menopang dagu, kenangan terus mengalir dari bibir mungilnya. 

“Usiaku lima belas tahun kala itu. Sebelum senja ditelan malam dan lampu toko buku milik ayahku dimatikan, aku mengayuh sepeda ke sana. Tentu saja ayah keheranan ketika aku berdiri mematung di rak buku tempat buku-buku memasak dipajang. Kuambil secara acak satu buku dan kubawa pulang. Pilihanku tak salah. Buku itu menyita hidupku di samping pekerjaan-pekerjaan rumah yang harus aku kerjakan. Ibu berangkat kerja di hari ketiga lalu sup daun ubi, tempe goreng menggeser posisi Pop Mie. Di hari keempat aku meminta pisau yang bentuknya mirip setengah pohon cemara yang terbuat dari kertas. Buku petunjuk mengatakan pisau jenis itu bagus untuk membuat filet ikan. Aku ingin sekali bisa memilikinya. ‘Tidak, aku tidak punya uang.’ Jawaban ibu membuatku akhirnya harus memakan sup daun ubi yang aku panaskan di pagi hari. Tas punggungku menjadi lebih berat setelah dijejali dua kotak makan dan sebotol air. Seminggu kemudian aku menjadi sangat kenyang hanya dengan melihat Ayah, Ibu, dan Kakakku menikmati fillet kare ikan, menu baru juga sebuah pisau ikan dari  uang jajan yang tak aku apa-apakan selama seminggu.”

Haka memandang sekeliling. Dapur itu kini dipenuhi peralatan memasak yang cukup lengkap. 

“Apakah setelah itu ibumu lalu memberikanmu uang untuk membeli perkakas dapur yang kau butuhkan?”

“Tidak. Aku harus rela tidak membeli bra baru selama tiga bulan hanya untuk berhemat. Aku mencucinya di malam hari, mengeringkan dan memakainya kembali esok,” Mikori berjalan menuju kitchen kabinet, membuka salah satu lacinya, mengambil sesuatu berbalik dan menunjukku dengan panci aluminium bergagang.  “Ini adalah panci pertama yang aku beli,” katanya penuh rasa bangga.

“Ibuku meninggal dua tahun lalu. Kanker menggerogoti saraf-saraf di otaknya. Ibu sudah meminum banyak obat tapi tak sembuh. Setelah didera penderitaan yang sungguh-sungguh dan betapa merepotkan orang-orang disekelilingnya, eutanasia menyudahi semuanya. Terkadang aku masih terus berpikir, betapa menyedihkan seseorang mati dengan cara seperti itu.”

Haka tak lagi mengunyah makanan. Ia kini memperhatikan perempuan tomboy yang dikenalnya dari salah satu kelas sastra di kampusnya. Mikori menghabiskan makanan sisa yang cukup untuk perut kecilnya. Sendok perak tebal itu sesekali terparkir di bibirnya usai ia menyuap sesendok makanan ke dalam mulut. 

“Setelah kepergian ibu, aku ditunjuk Ayah untuk mengurusi semua urusan rumah tangga ini. Ayah tak pernah bertanya detail belanja dan aku mulai membayar semua rasa hausku untuk gairah yang aku temukan saat ibu sakit dan Pop Mie seperti menggaruk-garuk isi perutku membuatku ingn memuntahkannya kembali. Ibu mungkin akan berteriak dari dalam kubur memintaku berhemat, jika melihat bagaimana rakusnya aku, membeli dan mengoleksi semua alat memasak ini. Tapi, kurasa, Ia juga pasti akan tersenyum melihat putra dan belahan jiwanya memakan beraneka makanan bergizi dan bervariasi.  Sayang sekali Ibu tak sempat mencicipi menu-menu istimewa yang diajarkan oleh buku-buku dengan tingkat kesulitan di atas pemula kepadaku.”

“Ah kenapa aku jadi seperti ini?” Mikori cepat-cepat mengusap wajahnya setelah sadar bahwa ia sudah menangis. Di depan seorang lelaki. Hal yang hampir tak pernah terjadi dalam hidupnya sebelumnya.

Ia bangkit berdiri mengemasi semua perkakas makan yang kini nampak persis sama di iklan-iklan cairan pencuci piring, penuh noda berlemak. “Tidak, kau duduk saja di situ. Ada beberapa botol sopi di kulkas. Ambil dan nikmatilah, biar aku yang menyelesaikannya,” kata Mikori. Tangannya menepuk bahu Haka memintanya untuk tidak bangkit. 

“Apakah kau selalu meminum bir?” tanya Haka. Ia merasa seperti sedang menggenggam segumpal es. Bir itu pasti sudah berada di kulkas enam bulan atau setahun lamanya. Sangat dingin. 

“Tidak. Ayah dan kakakku juga bukan peminum. Bir di kulkas itu memang diperuntukkan untuk tamu.”

“Lalu di mana mereka?”

“Kakakku pasti sedang keluar dengan pacarnya. Ayahku tak di sini. Ia sudah pergi jauh.”

“Pergi jauh? Kemana?”

“Uruguay.”

“Urugay?”

“Yah. Hingga setahun kepergian ibu. Ayah sangat depresi. Ayah selalu mengatakan, ‘Kenapa tidak kalian berdua saja yang meninggal dan harus dia? Sungguh sebuah jenis cinta sejati menurutku. Kami sudah melarang Ayah untuk pergi. Tapi Ayah tetap menerima ajakan sahabat lamanya mengembangkan sebuah bisnis pemasaran ikan di sana. Sekali dua Ayah menulis surat, dan sejak balasan surat terakhirku. Aku tak pernah menerima kabar dari Ayah lagi.”

Mikori mengenakan jeans ketas dan baju kaos tak berlengan yang menutup pusarnya. Haka baru sadar kalau pinggang Mikori begitu kecil dan ia tampak begitu natural dalam balutan jeans dan kaos itu. Ia tentu tidak sedang mabuk bir. Tapi ia tahu betul ia sedang mabuk sesuatu entah apa namanya. Sesuatu yang mendorongnya untuk memeluk Mikori dari belakang untuk melindunginya. Di luar pagi telah pergi meninggalkan hari. Gelap lalu mengurai hari, dari dapur hingga kamar - waktu berjalan melambat. 


Sabtu, 06 April 2019

Ulasan Para Pelacurku yang Sendu


Buku berjudul Pelacurku yang Sendu karangan Gabriel Garcia Marquez setebal 133 halaman ini dibuka dengan kalimat dari seorang Profesor yang tidak memiliki pekerjaan lain selain menulis selama hampir lebih dari setengah abad usianya, “Pada usiaku yang kesembilan puluh, ingin kuhadiahi diri sendiri dengan satu malam yang berluapan cinta liar bersama seorang perawan dewasa”. Kalimat pembuka yang sangat kuat dan menarik.

Ide yang membuatnya menghubungi Rosa Cabarcas, pemilik rumah terlarang, yang sebelum dua puluh tahun berlalu, pernah menawari profesor segala model perempuan dan selalu ia jawab tidak.
Rosa menghadirkan untuknya seorang anak perempuan empat belas tahun yang masih perawan yang hanya punya waktu singkat karena ia harus memberi makan adik-adiknya, menidurkan mereka juga membantu ibunya yang terkena rematik. Mereka bertemu pada pertemuan pertama, kedua, dan si profesor tak pernah menyentuh sedikitpun tubuh perempuan telanjang yang berbaring di salah satu kamar milik Rosa Cabarcas.  Perempuan yang tak pernah ia ingin ketahui namanya, selain Delgadina, nama yang ia berikan di malam pertama mereka bertemu, nama gadis dalam impiannya atau nama kapal Columbus yang terkecil.

Gabriel menguraikan karakteristik orang tua - saat profesor menginjak usia lima puluh tahun di mana ia sering mengalami kejadian lupa - dengan sangat baik. Profesor sering mencari kacamata ke seluruh pelosok rumah dan ternyata ia kenakan, sarapan dua kali dalam sehari karena lupa bahwa ia sudah sarapan sebelumnya, atau menceritakan kembali hal-hal yang pernah diceritakan. Ia juga mengutip perkataan, Cicero – seorang cendekiawan di masa Romawi kuno) bahwa, “meskipun orang tua suka melupakan hal-hal remeh temeh, mereka tak pernah lupa di mana hartanya berada.”

Pada akhirnya bersama Delgadina ia menemukan pengalaman tidak menjadi dirinya sendiri dan menemukan fakta bahwa ia jatuh cinta. Ia kehilangan nafsu makan, bobot tubuhnya turun, celananya longgar, linglung atau tidak bisa melakukan hal-hal berarti saat malam tiba dan kolom-kolom yang ditulisnya bersarat cinta.

Ia melewatkan usia sembilan puluh satu tahunnya bersama Delgagina, saling bergandeng tangan di ranjang yang sama di rumah terlarang Rosa Carbacas. Mungkin itu adalah saat pertama ia meniduri Delgadina yang terus berlanjut hingga usianya menginjak seratus tahun lebih. Seperti yang dikatakan oleh Rosa Carbacas kepadanya, “Makhluk malang itu jatuh cinta habis-habisan terhadapmu.”

Ini adalah buku kedua Gabriel setelah Love in The Time of Cholera. Yang sangat mengusik adalah mengapa selalu ada bagian cerita kehidupan seks gadis-gadis di bawah umur dalam cerita-ceritanya. Mungkinkah ia sedang mengangkat isu-isu incest atau pelacuran gadis-gadis di bawah umur yang terpaksa melakukan dan dengan sukarela menikmati?

Buat saya, saya selalu suka Gabriel. Caranya bercerita, alurnya yang tak teratur, diksi yang padat, kutipan-kutipan yang mengena selalu meninggalkan jejak dalam hati.  Dan, seperti biasa saya bakal membutuhkan tiga hingga empat hari untuk bisa sedikit merenggangkan ingatan terhadap kisah ini.  

“Cinta memang tak pernah mengenal batas usia”


Antonetta MLengo
Rote, 07April2019

Selasa, 12 Maret 2019

Kalian Suka Membaca?

Lima hari yang lalu, cuaca sedang terik-teriknya dan stok es batu sedang kosong di kulkas. Karena sedang libur dan ada kayu-kayu sisa pengerjaaan rumah yang tak terpakai, kami memutuskan untuk dibuat pagar saja. Sepasang suami istri datang membantu kami. Tiang-tiang balok kelapa ditancapkan berjarak kurang lebih satu meter. Balok berdimensi 4x6 cm sepanjang 3 meter dipaku melintang di atas tiang-tiang yang sudah lebih dahulu ditancapkan.

Kios terdekat yang menjual es batu hanya sejauh beberapa ratus meter saja. Saya pun pergilah---pergi membeli es batu. Ruas jalan menuju ke rumah jabatan bupati sangat sepi dan lengang di saat liburan. Anak-anak perempuan dan laki-laki berkejar-kejaran di tengah jalan dan menepi ketika ada kendaraan yang akan melintas. Saya kembali ke motor setelah mengantongi dua balok es batu.

Pandangan yang tak biasa tertangkap mata saya. Seorang anak berkulit hitam, berambut lurus sedang duduk menepi di pinggir jalan. Ia tak terusik oleh riuh tawa kawan-kawannya. Merasa tertarik, saya memarkir motor tepat di sampingnya.

Senyum malu-malu menghiasi wajahnya saat saya bertanya sedang membaca buku apa. Dia menyodorkan sebuah majalah usang berjudul HOPE.

Di rumah saya punya beberapa buku anak-anak. Beberapa buku milik anak pertama memang saya simpan dengan rapi agar bisa dipakai oleh adiknya. 

Anak-anak yang lain berhenti sejenak dan datang menghampiri saya. 

“Kalian suka membaca?”

“Iya…”

“Kalau besong mau, besok datang ke rumah yang di atas tuh. Tanta punya beberapa buku, kalian boleh baca nanti. Kita bisa belajar Bahasa Inggris juga.” Saya menunjuk belakang rumah kami yang masih nampak dari tempat kami berdiri. Rumah yang baru kami tempati selama kurang lebih setengah tahun setelah lima tahun nge-kost dan ngontrak selama kurang lebih empat tahun.

Mereka begitu antusias mendengar hal itu dan kembali lanjut bermain ketika saya berlalu.

***
Saya baru saja selesai masak, ketika melihat beberapa kepala kecil timbul tenggelam dari balik pagar. 

Dapur yang sibuk membuat saya terlupa kejadian kemarin. 

“Ah, kalian sudah datang. Ayo, masuk.” 

Empat orang anak itu masih berdiri di depan pintu pagar. Suami saya tak banyak berkomentar. Saya belum sempat bercerita. Tapi, sudah sejak pindah saya meminta izin darinya untuk membuka rumah baca dan tempat belajar untuk anak-anak di sekitar rumah. 

Dia pasti sudah paham ketika berkata, “Ayo, ayo, masuk ke dalam.” Anak-anak itu masuk setelah mengucapkan salam selamat sore.

Anak lelaki saya membantu mengeluarkan buku bacaan anak-anak yang kami punya. Dan dengan segera mereka memilih---melihat-lihat gambar dan mulai membaca. 

Saya dihinggapi rasa senang sekaligus rasa syukur. Senang rasanya melihat anak-anak yang gemar membaca. Bersyukur untuk kedua anak saya yang tak asing dengan buku bacaan dan bersyukur bisa berbagi. 

Hal selanjutnya saya berharap semangat ini akan terus ada, dan di tengah semua kesibukan, akan selalu ada waktu untuk berbagi ilmu dengan mereka---Angga, Anno, Vitho, Imanuel dan Chelen.

https://bit.ly/2MIatOe

#anakrote #marimembaca #maribelajar

Senin, 11 Maret 2019

IBU


Nama saya Syalom Smaut. Saya memiliki seorang ibu yang sangat saya kagumi bernama Dewi Sri Handayani. Ibu lahir di Rote pada tanggal 28 September 1980 dan bekerja di RSUD Baa sebagai seorang perawat. Ibu memiliki tiga orang anak yaitu, saya, adikku Firda dan Zefanya. Beliau seorang ibu yang memiliki karakter pekerja keras dan tidak mudah menyerah dalam menghadapi setiap keadaan dalam hidupnya.
Ibu sosok yang paling berjasa dalam hidup saya dan adik-adik. Beliau telah bersedia mengandung saya selama 9 bulan dan melahirkan kita melalui pengorbanan yang sangat besar. Ibu juga orang yang sangat saya sayangi dan saya cintai dalam hidup ini. Ibu saya berwajah cantik, rambut hitam bergelombang, mata yang bulat dan senyuman yang indah.
Ibu pintar masak. Masakannya selalu enak dan membuat kami selalu ketagihan. Apalagi saat mama membuatkan ayam goreng dan ikan bakar rica-rica rasanya enak sekali. Ibu pandai menjahit. Semua gorden yang ada di rumah kami di jahit oleh mama. Begitu juga seprei, kain meja, bantal sofa dan masih banyak lagi.
Ibu sangat kuat, walaupun kondisi papa yang sering sakit satu tahun belakangan ini ibu tetap setia merawat papa sampai ke kupang bahkan ke surabaya. Jika mama jauh dari kami maka ibu akan membimbing saya dan adik saya Firda belajar walaupun lewat video call.
Ibu adalah motivator dan inspiratif dalam hidup saya. Saya selalu menceritakan apapun yang saya rasakan dan alami kepada ibu. Walaupun saya sering dimarahi ibu namun tidak membuat saya membenci ibu karena semua itu pertanda ibu menginginkan saya menjadi lebih baik. Nasihat dan teguran ibu sangat berarti buat saya. Papa, saya dan adik-adik sangat menyayangi dan mencintai mama.


Syalom Smaut.
Siswa kelas VII SMPK Mother Ignacia.

Rabu, 27 Februari 2019

Alam yang Terus Bernapas


Dua minggu lalu waktu ke sekolah, anak-anak dengan bangga memamerkan bibit okra yang baru mereka tanam di petak sempit di depan kelas. Petak sempit itu dibagi menjadi 17 bagian, sesuai dengan jumlah mereka. Masing-masing petak yang lebih sempit itu ditancapkan sepotong kayu yang ditempeli kertas putih bertuliskan nama murid. "Ibu, lihat! Suster kasih kami bibit, ini namanya tanaman Okra. Ini suster bawa dari Filipina."

Dengar kata Filipina sudah pasti akan menjadi kebanggaan buat mereka jika mereka bisa membuat bibit itu bertumbuh. Menariknya adalah bagaimana mereka berusaha merawat bibit okra tersebut hingga bisa bertunas dan menjadi besar tentunya. Dua anak malah berkata dengan sedih, "Ibu, lihat dulu b pu bibit nih sedih sekali. Kawan-kawan punya su tumbuh b pung belum," sambil menyiram bibitnya dengan menggunakan wadah plastik aqua gelas. Kemarin sore, sebelum masuk kelas saya lihat anak itu bolak-balik masih menggunakan wadah Aqua untuk menyiram pohon okra. (Foto menyusul)

Menulis cerita ini, saya jadi teringat sharing dari bapak Kadis PKPLH tentang bagaimana beliau berusaha untuk menghijaukan halaman rumahnya, dalam acara Sosialisasi Adi Wiyata di dinas PKPLH beberapa waktu yang lalu. “Evan dan Agi (nama kedua anaknya) itu, sudah punya pohon mereka sendiri di rumah. Satu tahun mereka menanam dua pohon dan sudah berjalan selama dua tahun.” Sepuluh hingga lima belas tahun dari sekarang, pohon itu tidak hanya memperindah halaman rumah, menyegarkan udara tetapi juga menyimpan kenangan bapak dan anak yang bisa diturunkan hingga ke generasi berikutnya.  

Menurut saya, hal sederhana ini adalah contoh bagus untuk memulai merawat alam dari rumah. Bapak dan Mama mulai suka menanam dan mengajak anak-anak untuk terlibat dan merawat satu atau dua tanaman milik mereka juga tanaman-tanaman lain.

Sekolah-sekolah sudah banyak juga yang mengajak murid-murid untuk lebih menghargai alam, meski hanya dimulai dengan membawa pot-pot kecil berisi bunga beraneka ragam. Dinas PKLPH juga sudah melakukan pemulaan yang baik dengan mengundang perwakilan dari sekolah-sekolah untuk mengikuti sosialisasi Adi Wiyata. Selanjutnya diharapkan ada kegiatan kemitraan dalam  pengembangan pendidikan lingkungan hidup di sekolah. Dari rumah hingga sekolah, semoga saja langkah-langkah kecil ini bisa membantu alam kita yang sedang sekarat untuk bisa terus bernapas.