Selama ini aku hanya berjongkok
memperhatikan kutu-kutu putih yang melekat di batang-batang pohon mawar yang
ada di salah satu pot di sudut teras. Sudah lama mawar yang harum semerbak itu
tak lagi menguncup dan mekar sempurna. Dan sepertinya kutu-kutu yang berkumpul
bergerombol di beberapa titik batangnya itulah penyebabnya.
Kemarin aku dapati salah satu
cabang di pot sebelahnya, mulai dikutui kutu-kutu putih, mawar putih itu tidak
berbau harum, tapi selalu sedap dipandang ketika berbunga, aku lalu
menanggapinya dengan sedikit kepanikan, “Bagaimana jika kutu-kutu putih itu
menyerang semua pot-pot bunga mawar disini? Akan sulit menikmati kembangnya
sudah pasti.”
Bergegas aku ke kamar, duduk di depan laptop
dan mulai mengetik : Bagaimana mengatasi kutu putih pada pawar. Aku mendapatkan
satu jawaban yang menurutku gampang untuk dilakukan, http://ayoberkebun-hervin.blogspot.com
memberikan tips kurang lebih begini, “Siapkan air yang telah dicampur detergen
/ sabun cuci cair dengan perbandingan 1 liter air 1 sendok makan detergen, lalu
aduk merata. Gunakan Spon lembut untuk menghilangkan kutu putih. Celupkan spon
ke larutan detergen, usapkan perlahan terhadap bagian daun yang terkena.
Lakukan berulang-ulang sampai kutu putih hilang. Bilas dengan air bersih biasa
terhadap larutan detergen yang menempel pada daun terserang. Tanaman sudah
terbebas dari kutu putih...”.
Hal yang sederhana untuk
dilakukan, namun masih tertunda, aku sendiri belum membeli spon untuk
melunturkan kutu-kutu putih itu J.
Melodya, balita dua setengah
tahun, anak keduaku, datang ke sampingku, dan meminta dipetiki sekuncup mawar.
Awalnya aku keberatan untuk itu sebenarnya. Menanti mawar-mawar itu berbunga
sempurna juga merupakan kenikmatan tersendiri. Tapi akhirnya kuncup itu tetap
kupetik, dan memberikan kepada putriku, sebuah kuncup mawar yang masih terbungkus
dengan beberapa helai daun muda di sisi-sisinya.
Kali ini aku dibuat bingung
karena kuncup bunga itu diterima dengan tangisan. Mungkinkah bocah ini
sebenarnya menginginkan sebuah mawar yang mekar? Tapi bagaimana mungkin?
Aku mencoba untuk membuka
kuncup-kuncup itu, memaksanya untuk mengembang sempurna. Tapi yang aku dapatkan
adalah kecantikan mawar yang menjadi rusak dalam sekejap. Kelopak-kelopaknya
berjatuhan, alih-alih menjadi cantik, kuncup mawar itu malah menjadi hancur.
Tak ada lagi tangisan dari bibir
kecil itu, yang ada kini hanya tawa riang, mungkin bocah itu merasa lucu akan
ekspresiku yang sedih dan melebih-lebihkannya menjadi suatu reaksi jatuh
terduduk dengan wajah kesakitan.
Setelah beberapa lama kami
bermain, berpelukan, menyanyi dan tertawa. Kaki-kaki kecilnya itu kini beralih
ke sepeda kecilnya yang dikayuhnya dari satu ruangan ke ruangan lainnya.
Aku masih di teras samping,
dimana suamiku meletakkan pot-pot mawar kesayangan kami. Menatap
kelopak-kelopak mawar yang kini menjadi sampah itu. Aku lalu membatin, “Seperti
itu pula banyak hal dalam kehidupan, terkadang kita harus membiarkannya terbuka
dengan caranya sendiri dan dengan waktunya sendiri.”
Kampung Biru, Rote-Ndao,
28/10-2015.