Bis Kayu yang sejatinya adalah sebuah truk berbak kayu dengan
karoseri berangka kayu yang dilapisi dengan plat logam tipis di atasnya. Karoseri berasal
dari bahasa Belanda Carrosserie adalah
rumah-rumah kendaraan yang dibangun di atas rangka/chasis mobil atau
chasis khusus bus ataupun truk(Wikipedia).
Ketika masih duduk di bangku SD, kami pernah naik bisa kayu
ke Nangaroro ke rumah paman dan bibi, ketika ada pesta. Kami pun duduk berbaur
dengan bapak-bapak dan mama-mama yang hendak kembali ke kampung setelah
berbelanja kebutuhan sehari-hari di kota. Saya biasa didudukkan di pinggir agar
terkena angin, karena saya suka mabuk. Aromanya pun campur aduk, mulai dari
aroma keringat hingga aroma binatang (babi dan sapi) yang diikat dan bersesakan
di bagian belakang bis.
Bis Kayu, untuk kami masyarakat kota Ende khususnya dan
Flores pada umumnya bukanlah hal yang asing atau di beberapa tempat dimana bis
kayu masih menjadi moda transportasi utama antar wilayah desa dan kabupaten. Tapi
sejauh yang saya lihat, mata saya belum pernah
bertemu langsung dengan penampakan bis kayu, di Kupang atau di Rote.
Banyak pick-up dengan karoseri dari besi maupun kayu, tetapi bukan bis kayu.
Apalagi di pulau Jawa, mungkin dulu ada dan kini punah tergerus arus
modernisasi. Maka buat saya bisa dikatakan Bis Kayu adalah ikon tanah Flores.
Adalah pemandangan yang unik dan menarik terlebih lagi di
setiap hari Jumat. Bis-bis kayu berseliweran ada yang dalam diam dan tidak
sedikit juga dengan alunan musik dengan volume paling besar, mengumandangkan
lagu-lagu Lio atau lagu-lagu kekinian. Di hari Kamis sore bis-bis kayu datang
silih berganti menurunkan hasil bumi beserta Ame-ame dan ine-ine dengan penampilan khas lawo-lambu dan ragi mite yang
dipadu padankan dengan kaos berleher bundar atau kaos berkerah. Hari pasar
Wolowona
Saya selalu menikmati melihat ini, bis-bis kayu yang penuh
sesak dijejali nona-nona muda dengan baju berwarna-warni, celana jeans ketat
dan sandal yang juga berwarna-warni ; pria-pria muda beberapa dengan rambut model
kekinian-beranting-berkacamata-atau pemuda-pemuda yang memilih tampil sederhana
; ame-ame juga ine-ine dengan busana keseharian mereka. Suatu padu padan serasi antara gaya modern dan
tradisional.
Hari Jumat sore, bis-bis kayu itu berjejer di depan rumah.
Seorang pria pembantu sopir lebih dikenal konjak-berteriak : “Ayo turun, mau
geti apa nah geti memang. Geti Kue, roti, minyak tanah, geti memang”. Seisi bis
kayu lalu menjadi riuh dan ramai. Terlihat ine-ine merogoh tas-tas tangan
mereka, dan meminta anak-anak mereka yang lebih muda : ‘Mbana si, geti ina dan
geti itu” Ada juga yang berteriak dari atau bis kayu ke anaknya sambil menunjuk
ke lemari kue milik mama : “Donat seapa?” // “Seribu seesa”, jawab anaknya. “
“Geti Sepuluh Ribu e”, kata Inenya.
Suatu sore di Rote, ketika menonton liputan daerah Ende,
sekilas gambaran tentang bis kayu, dan bagaimana reporter-reporter itu begitu
menikmati perjalanan mereka menumpangi bisa kayu, bagaimana bagian tubuh mereka
yang melekat dengan kayu yang diduduki menjadi begitu pegal ketika turun,
akibat jalanan tak rata, berlubang dan berbelok-berbelok, membuat saya sangat
merindukan kota tempat saya dilahirkan.
Saat ini ketika berada disini, ketika saya dengan leluasa
dapat memandanginya setiap harinya, benar-benar membuat damai. Seperti tak
jemu-jemu menikmati- menyesap dalam-dalam aroma dan suasana ini. Dan kesederhanaan
ame-ame, ine-ine ; sesederhana bis kayu itu sendiri, akan selalu membuat saya
rindu untuk kembali ke kota ini – Ende Lio Sare Pawe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar