Meja makan bertubuh rata berwarna cokelat, tak bertaplak,
berkaki alumunium itu hanya menjadi pajangan ruang makan kontrakan selama ini. Diletakkan
berimpit dengan lemari buku yang sesak dipenuhi buku, akan semakin berimpit
jika kursi pun turut serta. Dan meja makan itu hanya disinggahi ketika satu
persatu penghuninya hendak mengambil makan, tak pernah ditemani kursi, berdiri
kokoh dalam diam.
Sebelum meja itu hadir, biasanya beralaskan tikar bertiga
kami berlesehan di kamar kos, beberapa petak keramik itu berubah fungsi menjadi
meja makan.
Suami senangnya makan sambil menonton TV. Saya maklumi
ketika alasannya : “Papa kan tidak pernah menonton TV, jadi waktu nonton berita
adalah saat makan saja. Jadi kakak tolong mengerti yah”. Maka dengan sukarela
anak saya akan menyerahkan remote TV kepada papanya, tanpa uh atau eh seperti
omelannya ke saya ketika saya meminta mengganti channel yang pas kebetulan
terlihat di sela jeda iklan.
Pernah seseorang berkata kepada saya : “Dunia makin modern.
Teknologi makin canggih. Tayangan TV makin beragam. Keluarga-keluarga masa kini
tidak seperti keluarga di jaman kami dahulu, yang duduk mengitari meja makan ;
tua muda duduk makan bersama-sama bercerita tentang segala hal yang mereka
punya. IKatan batin antara anggota keluarga juga terjalin di tengah keluarga.
Sekarang dimana-mana sama, bapak dan mama ambil makan ke depan TV, anak ambil
makan ke depan laptop bermain game, masing-masing sibuk dengan teknologi”.
Suatu hari saya meminta suami saya untuk memindahkan lemari
buku ke ruangan lain, biar lengang dan bisa dimanfaatkan sepenuhnya sepetak 3x2
m2 itu. Taraaaa lengang sudah kini dan ruang makan. Saya kemudian
mengumumkan : “Mulai sekarang tidak ada yang namanya makan sambil nonton yah,
semuanya harus di meja makan”. Permintaan itu disanggupi hanya sebatas jawaban
: “Iya, Ma’. Hari pertama dan kedua Jericho masih protes karena kesukaannya
adalah menonton Upin Ipin sambil makan, dengan nasi-nasi berjatuhan di lantai,
dan terakhir dia saya selalu minta untuk membersihkan sisa-sisa nasi itu, tak ada pembantu soalnya!.” Hari ketiga
ketika hendak makan siang sambil menonton TV, saya berkata : “Kakak mau makan?
Makan disini saja mama temani yah?”. Awalnya dia ogah yang akhirnya duduk juga.
Saya mulai bertanya ; “Bagaimana di sekolah tadi……?” dan cerita pun mengalir
bak air.
Minggu-minggu penyesuaian telah berlalu, kini meja makan
adalah tempat kami bertemu, duduk bersama di pagi, siang dan malam hari. Ada
banya cerita kenangan, cerita lucu, curahan hati seorang anak berumur 9 tahun
yang mengejutkan, sampai trending topic jadi bahasan (biasanya ini di antara
saya dan suami, biasanya di makan pagi, selesai mengantarkan anak ke sekolah).
Lalu waktu makan adalah waktu yang selalu saya
tunggu-tunggu. Menyenangkan bisa mendengarkan semua cerita-cerita suami dan
anak. Saya biasanya menjadi pendengar setia yang merekam semua isinya untuk
dijadikan cerita.
“Ma, tadi kami belajar kitab keluaran tentang 10 perintah
Allah. Jadi ma, Membunuh itu ada dua macam. Membunuh secara fisik dan membunuh
secara rohani. Kalau secara fisik biasanya itu ma, orang datang lalu buat orang
mati. Kalau membunuh secara rohani biasanya dengan kata-kata dan bisa juga jadi
membunuh secara rohani”, kata Jericho.
Saya : begitu kah. Lalu membunuh secara rohani itu bagaimana?
“Membunuh secara rohani, kalau kita mengejek orang,
mengata-ngatai orang, jadi bikin orang emosi toh. Akhirnya orang itu jadi
kepengen bunuh yang ejek dia Ma. Kalau dia tidak bisa tahan emosi akhirnya dia
bisa jadi membunuh juga”, jawabnya Jericho. ( ada ceritanya J)
Atau cerita papa :
“Dan Jeri tahu, kenapa sampai saat ini papa menyesal dan
bahkan sampai mati penyesalan itu akan papa bawa?”
Dan jawaban itu sangat mengejutkan bisa menjadi pembelajaran
(belum selesai saya tulis).
Meja makan itu tak lagi sendirian, kini bertemankan tiga
buah kursi dan satu meja kecil beserta kursi untuk Lodya. Meja makan itu tak
lagi melulu sunyi, ada kisah sedih, ada tawa, ada arahan, ada pembelajaran, di
tiga waktu berbeda efek rotasi bumi terhadap sang Mentari.
Ketika suami sedang sibuk-sibuknya dengan pekerjaannya,
waktu bertemu di malam hari yang juga tak begitu lama, kami masih punya total
45 menit, untuk duduk bersama dan berbagi cerita.
Saya harus mengakhiri tulisan ini, untuk menyambut waktu 15
menit di pagi hari nanti. J.
Selamat pagi teman-teman, buat yang belum memanfaatkan waktu
makan sebagai waktu efektif untuk berkumpul dan berbagi cerita bersama anggota
keluarga, mari kita mulai sejak hari ini. Beberapa petak lantai untuk lesehan
juga tak apa, namun ada baiknya tanpa tontonan TV sehingga semua anggota
keluarga bisa saling mendengarkan di saat itu. Rasanya Indah.
Saya jadi ingin sekali merangkum semua cerita itu menjadi
sebuah buku,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar