“Anak polisi mah bodok”, begitu
ma kata teman-teman ke salah satu temannya. “Kakak kasihan mama sama dia,
pernah sekali dia menangis gara-gara di ejek teman-teman”, ceritanya.
Suami saya langsung mendongakkan
kepala, ketika baru saja hendak menyuapkan nasi itu ke mulutnya. “Lalu kakak
juga ikutan mengejek?”, tanya suami. “Tidak papa, biasanya kakak hanya diam
saja. “Jangan yah kak, begitu juga dengan kakak, mau bermain seperti apa dengan
teman, tidak boleh bawa-bawa nama orang tuanya, orang tua lagi kerja di kantor
koq di bawa-bawa”, lanjut suami menasihatinya. Saya sendiri juga kaget, sampai
sebegitunya kah, bullying verbal itu terjadi.
Pernah sekali saya dan si sulung
berdiskusi tentang satu hal. Dia menemani saya mencuci pakaian. Diskusi itu
berakhir dengan ngambek-an karena saya tidak mengijinkan permintaannya untuk
bermain di sekitar kali, bersama teman-temannya.
Sembari mencuci saya berpikir,
“Ah mungkin saya terlalu kasar dengannya”.
Saya panggil-panggil tak ada jawaban. Saya pun menyusulnya, belum beberapa
langkah saya berjalan, anak lelaki saya sedang duduk di lantai di bawah kulkas.
Saya memeluknya sambil berkata :
“kakak, bukan mama tidak mengijinkan kakak
bermain, tapi mainnya di sekitar sini saja e, jangan jauh-jauh apalagi ke kali.
Lalu bersepeda ke jalan besar, apakah kakak ikut bersama teman-teman atau
tidak. Mama minta sebaiknya kakak pikirkan lagi kalau di ajak bersepeda ke
jalan, sampai sepeda kakak diperbaiki e bisa?” (rem rusak, gara2 dipreteli dia
dan kawan-kawannya yang mungkin lagi mau belajar rakit. Bia bongkar pasang
sonde bisa),. “Bisa Ma”, jawabnya singkat.
Ketika hendak saya mencium
pipinya, saya kaget. “Lha kakak kenapa menangis?” tanya saya. “Mama kakak
merasa buruk sekali”, jawabnya. “Lha buruk kenapa? Kakak tidak buruk e, mama
punya anak ganteng dan baik kah, ada apa di sekolah?”, kata saya. “Kakak di
sekolah tidak punya teman, Ma. Kalau bola sudah di tangannya si Dede, dia mau
dia semua, dia kasih keluar kami dan larang kami bermain. Kadang permisi
banyak-banyak e, Ma dia bilang begini ke kakak, ‘T*l* nih, Gajah, Bontak”,
ceritanya sambil menahan tangis dalam pelukan saya. “Hem, baru sekelas ada
berapa orang? 30 orang sekelas 30 orang semuanya tidak mau berteman dengan
kakak?” tanya saya. “Ada yang main dengan Kakak juga ma, biasanya mereka yang
di larang bermain sama si D*d* itu. Kami ada 5 orang termasuk kakak Ma.”jawabnya.
“Nah, 4 orang ju tidak apa-apa kakak. Jadikan mereka teman baik kakak. Tapi sebelumnya
kakak harus jadi teman yang baik dulu e. Ingat seberapa buruk perlakuan
teman-teman ke kakak, jangan pernah merasa buruk, dan jangan membenci”.
Saya menarik napas panjang. Hem, anak saya sudah menjadi korban bully
nih. Saya tetap memeluknya sambil mendengarkan semua ceritanya, adiknya
berdiri di samping membelai-belai kepala kakaknya. Mencium kakaknya. Setelah beberapa
lama bercerita, keceriaan itu ada di wajahnya berganti dengan menggoda adiknya.
Kami bertiga bercanda bersama. Sebelum melanjutkan gambar dia datang memeluk
saya dan berkata : “mama, jangan bilang papa e, kalau tadi kakak sudah
membentak mama e”. “Ah iya kak, mama tidak lapor, jangan buat begitu lagi e”,
Jawab saya.
Saya menyambung perkataan suami
saya sewaktu di meja makan : “Kakak, sendiri sudah merasa sangat tidak enak di
ejek kan. Nah jangan buat ke teman lain e. Apa yang kita tidak mau orang buat
ke kita, jangan buat itu ke orang lain. Kalau tidak mau diejek,dihina yah
jangan mengejek atau menghina”. “Iya Ma”, jawabnya.
“Anak-anak sekarang ini rawan terhadap ancaman perilaku menekan, mencemooh atau mengganggu,yang sering disebut bullying. Dan anak yang menjadi korban bullying masih merasakan hingga lebih dari 4o tahun, dampak kesehatan psikis dan mental akibat peristiwa yang di alaminya”
Bentuk-bentuk bullying :
Bullying fisik : memukul,
menjegal, mendorong, meninju, mengancam secara fisik, memelototi, atau mencuri
barang.
Bullying psikologis : menyebarkan
gossip, mengancam, gurauan yang mengolok-ngolok, secara sengaja mengisolasi
seseorang, mendorong orang lain untuk untuk mengasingkan seseorang secara social,
dan menghancurkan reputasi orang.
Bullying verbal : menghina,
menyindir, meneriaki dengan kasar,memanggil dengan julukan keluarga, kecacatan
atau ketidakmampuan.
Bullying bukan kata asing lagi. Bahkan
kita sebagai orang tua dalam keadaan luar biasa, tidak terkontrol dengan sangat
terpaksa, mengeluarkan kata “bodoh, pemalas, lambat”, atas kelakuan anak-anak
kita lalu menyesal kemudian ; karena sudah memberi label negatif atas mereka.
Menjadi orang tua tidak mudah. Lebih sulit melatih kesabaran daripada
mengusahakan keperluan anak-anak secara materi. Tapi bukan berarti tidak dapat
diusahakan. Saya sendiri belajar setiap hari, untuk bisa menjadi orang tua yang
baik. Jika hari ini ada cacat, maka besok diusahakan untuk lebih baik lagi.
Bisa bayangkan bagaimana perasaan
anak-anak itu ketika di bully. Bagaimana rasanya menjadi Jeri yang beda
sendiri, karena kebetulan memiliki postur tubuh yang besar, atau menjadi Firman
temannya yang kerap dapat nilai jelek di sekolah dan kebetulan anak pol*s*,
sudah merasa tidak mampu malah orang tua dibawa-bawa, atau bagaimana rasanya
menjadi Angeline almarhum yang ke sekolah dengan bau tahi ayam, lalu di bully
di sekolahan di jauhi karena kondisinya? Sudah pasti sakit dan memilukan.
Jangan biarkan anak-anak kita
menanggungnya sendiri. Mereka butuh telinga untuk mendengarkan
curhatan-curhatan mereka, pelukan yang hangat untuk membuat mereka merasa bahwa
mereka tidak sendiri di dunia ini. Maka sediakan waktu untuk berbincang dengan
putra dan putri kita. Kita tidak akan pernah tahu apa yang mereka alami di
sekolah, jika kita terus diam tak berkomunikasi, merasa sudah cukup hanya
dengan memberi makan, menyediakan keperluan mereka. Mereka lebih dari sekedar sandang dan pangan.
Sepertinya sosialisasi di
sekolahan perlu tentang bullying ini, agar ejekan-ejekan yang selama ini di
anggap pola permainan biasa antara teman itu bisa di alihkan ke bentuk yang
lain. Karena terkadang pengrusakan barang, pemukulan terjadi, juga karena
setelah seorang anak di bully secara psikologis dan verbal. Sayangnya perhatian
lebih ke yang terjadi secara fisik tanpa ditelusuri kenapa si anak sampai
sampai memukul, merusak dsb.
Akhirnya, adalah tugas kita untuk
membantu buah hati kita untuk tetap mengerti bahwa : “Tidak peduli apapun yang
orang lain katakana terhadapnya, dia harus
“baik”senantiasa. Jangan simpan rasa benci, rasa buruk atau apapun.
Ingatkan dia bahwa “jika Tuhan menjadi sahabat kita kenapa kita hars takut?”
sewaktu membuat tulisan ini, tiba2 teringat Angeline....Angeline, Angeline betapa luar biasa yang sudah engkau lalui. Memeluknya kuat-kuat dalam imaginasi, dan saya yakin Angelin sudah jadi malaikat di surga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar