Berapa tahun lalu waktu sedang
aktif-aktifnya mengikuti kelasnya Father Kons, di almamater tercinta SMUK
Syuradikara, Saya dan Nane sering sekali di ajak makan di komunitas biara.
Menikmati makan siang atau makan
malam di komunitas itu selalu membawa kesan tersendiri dan jadi kenangan yang
tidak terlupakan.
Di ruang makan komunitas, bisa
kita jumpai 2 meja panjang yang dipajang secara vertical di sebelah kanan dari
pintu masuk, satu meja dipajang di horizontal terhadap ruangan. Dua meja ini
dilengkapi dengan kursi-kursi kayu sederhana dan kokoh. Di samping kiri dekat
jendela ada sebuah meja lagi tempat menyajikan makanan. Di tengah-tengahnya di
dekat pintu keluar ruang makan menuju dapur ada satu meja panjang, tempat
menaruh beberapa termos, kopi, susu, gula, roti, kue, sambal, saos, piring, dan
gelas. Menu kesukaan saya adalah jagung rebus+sambal, dan setiap kali di ajak
ke ruang makan saya selalu berharap menu itu akan ada lagi.
Saya sendiri jarang sekali
memasuki ruangan ini sewaktu SMA. Bisa berada disana duduk bersama beberapa biarawan di beberapa jam makan siang dan jam
makan malam, adalah sesuatu yang luar biasa bagi saya pribadi. Membahas beberapa
topik dan mendengarkan bagaimana Pater menganalisa suatu topik dari sudut
pandangnya benar-benar menarik. Yang selalu saya suka dari Pater Kons adalah
komentarnya yang blak-blakan tentang sesuatu, kritikan-kritikan terhadap
sesuatu yang mau tidak mau menjadi masukkan dan pelajaran berharga bagi saya. Rasanya ingin duduk berjam-jam di sana J.
Selesai makan, melihat contoh
para biarawan itu membereskan piring makan dan gelasnya masing-masing untuk
diletakkan di tempat perkakas kotor, merapikan kembali kursi saya lalu
mengikutinya.
Para biarawan akan kembali ke
rutinitasnya masing-masing. Ada yang istirahat siang, ada juga yang lanjut
berkebun untuk menghasilkan tanaman obat, beliau di sapa dengan Opa Bruder
Alfons, mengusahakan tanaman obat di pekarangan komunitas dan olahannya dalam
bentuk minyak yang di takar dalam beragam ukuran botol di bandrol dengan harga
sekitar 25rbu-50rbu.
Pernah sekali secara kebetulan
mengikuti semacam presentasi proyek budi daya Buah Naga di sekitar Syuradikara.
Pater Kons, dengan antusias terus bergumam ketika slide-slide itu bergantian
satu demi satu. “Hebat e, orang-orang itu. Saya juga mau Flores seperti itu”.
Itulah Pater dengan visinya. Kenangan tentang bagaimana biarawan
mengekspresikan ketegangan mereka ketika menyaksikan pertandingan tinju antara
Manny dan De La Hoya masih jelas tervisualisasi dalam pikiran saya, yang
kebetulan saya dan Nane berada di sana pada waktu itu. Saya sering lupa kalau
sosok-sosok biarawan itu, ternyata masih manusia jugaJ.
Malam ini mendapat telepon dari
pater. “Kapan engkau mau datang ambil sertifikatmu itu? Novi sedang dalam
proses untuk apply CCIP”, kata pater. Selebihnya pembicaraan tentang sesuatu info.
Pater, saya jadi galau lagi malam
ini. Saya juga ingin seperti Nando dan Eka.
Lalu saya teringat pembicaraan
yang juga terjadi di meja makan bersama suami tercinta pagi tadi.
“Ma, papa punya keyakinan
terhadap mama. Dengan kemampuan mama yang seperti ini, ketika saatnya mama
bekerja, mama pasti bisa bekerja dengan baik. Sekarang hanya masalah waktu
saja. Ikuti alur dan prosesnya saja dahulu”.
Dan malam ini saya berusaha
menenangkan diri saya dengan berkata : “Segala sesuatu ada waktunya. Jika
memang sudah waktunya untuk pergi, pasti ada jalan, Amin.”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar