Selasa, 19 Mei 2015

Cerita Di Balik Meja Makan

Berapa tahun lalu waktu sedang aktif-aktifnya mengikuti kelasnya Father Kons, di almamater tercinta SMUK Syuradikara, Saya dan Nane sering sekali di ajak makan di komunitas biara.

Menikmati makan siang atau makan malam di komunitas itu selalu membawa kesan tersendiri dan jadi kenangan yang tidak terlupakan.

Di ruang makan komunitas, bisa kita jumpai 2 meja panjang yang dipajang secara vertical di sebelah kanan dari pintu masuk, satu meja dipajang di horizontal terhadap ruangan. Dua meja ini dilengkapi dengan kursi-kursi kayu sederhana dan kokoh. Di samping kiri dekat jendela ada sebuah meja lagi tempat menyajikan makanan. Di tengah-tengahnya di dekat pintu keluar ruang makan menuju dapur ada satu meja panjang, tempat menaruh beberapa termos, kopi, susu, gula, roti, kue, sambal, saos, piring, dan gelas. Menu kesukaan saya adalah jagung rebus+sambal, dan setiap kali di ajak ke ruang makan saya selalu berharap menu itu akan ada lagi.


Saya sendiri jarang sekali memasuki ruangan ini sewaktu SMA. Bisa berada disana duduk bersama beberapa  biarawan di beberapa jam makan siang dan jam makan malam, adalah sesuatu yang luar biasa bagi saya pribadi. Membahas beberapa topik dan mendengarkan bagaimana Pater menganalisa suatu topik dari sudut pandangnya benar-benar menarik. Yang selalu saya suka dari Pater Kons adalah komentarnya yang blak-blakan tentang sesuatu, kritikan-kritikan terhadap sesuatu yang mau tidak mau menjadi masukkan dan pelajaran berharga bagi saya.  Rasanya ingin duduk berjam-jam di sana J.

Selesai makan, melihat contoh para biarawan itu membereskan piring makan dan gelasnya masing-masing untuk diletakkan di tempat perkakas kotor, merapikan kembali kursi saya lalu mengikutinya.
Para biarawan akan kembali ke rutinitasnya masing-masing. Ada yang istirahat siang, ada juga yang lanjut berkebun untuk menghasilkan tanaman obat, beliau di sapa dengan Opa Bruder Alfons, mengusahakan tanaman obat di pekarangan komunitas dan olahannya dalam bentuk minyak yang di takar dalam beragam ukuran botol di bandrol dengan harga sekitar 25rbu-50rbu.

Pernah sekali secara kebetulan mengikuti semacam presentasi proyek budi daya Buah Naga di sekitar Syuradikara. Pater Kons, dengan antusias terus bergumam ketika slide-slide itu bergantian satu demi satu. “Hebat e, orang-orang itu. Saya juga mau Flores seperti itu”. Itulah Pater dengan visinya. Kenangan tentang bagaimana biarawan mengekspresikan ketegangan mereka ketika menyaksikan pertandingan tinju antara Manny dan De La Hoya masih jelas tervisualisasi dalam pikiran saya, yang kebetulan saya dan Nane berada di sana pada waktu itu. Saya sering lupa kalau sosok-sosok biarawan itu, ternyata masih manusia jugaJ.

Malam ini mendapat telepon dari pater. “Kapan engkau mau datang ambil sertifikatmu itu? Novi sedang dalam proses untuk apply CCIP”, kata pater. Selebihnya  pembicaraan tentang sesuatu info.
Pater, saya jadi galau lagi malam ini. Saya juga ingin seperti Nando dan Eka.

Lalu saya teringat pembicaraan yang juga terjadi di meja makan bersama suami tercinta pagi tadi.
“Ma, papa punya keyakinan terhadap mama. Dengan kemampuan mama yang seperti ini, ketika saatnya mama bekerja, mama pasti bisa bekerja dengan baik. Sekarang hanya masalah waktu saja. Ikuti alur dan prosesnya saja dahulu”.

Dan malam ini saya berusaha menenangkan diri saya dengan berkata : “Segala sesuatu ada waktunya. Jika memang sudah waktunya untuk pergi, pasti ada jalan, Amin.”.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar