Sabtu, 30 Mei 2015

Berbagi

Saya masih menyimpan beberapa ribu rupiah sebagai persediaan terakhir untuk bertahan hidup. Telepon genggam saya berada di kamar, Ketika sedang bermain anak saya yang paling kecil, yang telinganya memiliki sensitifitas tinggi terhadap bunyi telepon yang masuk, sepertinya radar di otaknya sangat berkawan baik dengan gelombang suara dari hape apa saja di rumah kami.
Tiba-tiba dia berteriak : “Ma, Nelfon Ma”. Kakinya begitu cepat merespon gelombang suara itu, segera dia berdiri, berlari sekencang mungkin kearah sumber suara. Menemukan hape yang  ada di dalam kamar, mengambilnya dan memberikannya kepada saya.
Nomor hape suami saya, berkedap kedip di layar, menunggu untuk diangkat. “Hem tumben telp”, batin saya.

“Ya Halo, Pa. bagaimana? Belum pulang kah?”, jawab saya.
“Belum Ma. Papa lagi di rumah sakit. Ada kawan yang sakit. Papa sama dia sendiri di sini. Mama ada pegang uang berapa disitu?’ katanya.
“Papa tahu sendiri kan Cuma beberapa puluh ribu di tangan”, jawab saya.
“Nah, mama papa boleh pakai sebagiannya kah? Buat tebus obat. Kasihan ma, yang sakit sendirian disini. Sakitnya sama kayak papa. Nah kawan ini tidak punya askes atau bpjs. 38rbu biar bisa disuntik ranitidin, Ma . Papa pake 50rbu yah, biar sekarang papa ke rumah”, katanya lagi.
Tanpa berpikir panjang lagi. Saya berkata : “Yah sudah, datang ambil sini sudah, pakai saja yang ada”. Lalu klik pembicaraan selesai.
Beberapa menit kemudian suami saya muncul dengan tergesa-gesa, mengambil uang dan kembali pergi.
Ada kekhawatiran bagaimana dengan kami besok, bagaimana kalau si balita ini panas lagi nanti malam, dan persediaan obat sedang tak ada? Bagaimana ini, bagaimana itu. Tiba-tiba terlintas satu ayat kitab suci yang sering saya baca : “Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata : “Apakah yang akan kamu makan, Apakah yang akan kamu minum?”. Saya ke kamar membuka alkitab mencari letak ayat itu dan di sana dia berada Matius 6 : 31-34. Lalu saya berdoa sebentar : “Bapa, terimakasih karena kami masih bisa di berikan kesempatan untuk membantu, di saat kami sendiri sedang susah. Saya percaya Bapa, bahwa Engkau sendiri akan mencukupkan segala kebutuhan kami, Amin.”
Kekhawatiran itu terkendali sekarang dan saya mulai melanjutkan menyapu sambil bermain dengan Melodya putri kami, dengan penuh sukacita.
Beberapa jam kemudian, persis ketika saya sedang mengepel lantai dapur, suami saya tiba membawa seikat sayur, satu tas kecil berisi tahu dan satu tas kecil lagi berisi telur. Saya agak heran : “Papa ada dapat berkat kah?” tanya saya.
“Tidak Ma. Ini papa belanja pakai uang 50rbu yang tadi. Papa sampai di rumah sakit, istrinya sudah ada Ma, dan sudah ditangani”, jawab suami saya.
“Ah begitu kah?” saya bergumam. Sepertinya Tuhan tahu kalau kita lebih membutuhkan uang itu, sehingga dikembalikannya lagi kepada kita J.
“Mama, sayurnya biar papa yang masak,” katanya.
“Baiklah kalau begitu, biar mama cuci piring dan bersihkan ikan, selesai masak api kompornya jangan dimatikan”, saya menjawabnya.
Dan kami menikmati makan malam itu dengan penuh rasa syukur.
Ada kedamaian di dalam hati saya. Dan cerita ini ada hanya untuk berbagi rasa betapa indahnya berbagi. Semoga nanti, ketika saya di berikan kepercayaan untuk bekerja dan mendapatkan penghasilan, saya bersama suami bisa menjadi saluran berkat buat orang-orang di sekitar. Bahkan ketika kami belum bisa memberikan bantuan secara materi, telinga kami selalu siap menjadi tempat menampung keluh kesah ; tangan dan kaki kami bisa menjadi perpanjangan tangan mereka yang membutuhkan ; terlebih lagi hati kami senantiasa di berikan hati yang tulus dan penuh kasih. Amin.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar