Saya masih
menyimpan beberapa ribu rupiah sebagai persediaan terakhir untuk bertahan
hidup. Telepon genggam saya berada di kamar, Ketika sedang bermain anak saya
yang paling kecil, yang telinganya memiliki sensitifitas tinggi terhadap bunyi
telepon yang masuk, sepertinya radar di otaknya sangat berkawan baik dengan
gelombang suara dari hape apa saja di rumah kami.
Tiba-tiba
dia berteriak : “Ma, Nelfon Ma”. Kakinya begitu cepat merespon gelombang suara
itu, segera dia berdiri, berlari sekencang mungkin kearah sumber suara.
Menemukan hape yang ada di dalam kamar,
mengambilnya dan memberikannya kepada saya.
Nomor hape
suami saya, berkedap kedip di layar, menunggu untuk diangkat. “Hem tumben telp”, batin saya.
“Ya Halo,
Pa. bagaimana? Belum pulang kah?”, jawab saya.
“Belum Ma.
Papa lagi di rumah sakit. Ada kawan yang sakit. Papa sama dia sendiri di sini. Mama
ada pegang uang berapa disitu?’ katanya.
“Papa tahu
sendiri kan Cuma beberapa puluh ribu di tangan”, jawab saya.
“Nah, mama
papa boleh pakai sebagiannya kah? Buat tebus obat. Kasihan ma, yang sakit
sendirian disini. Sakitnya sama kayak papa. Nah kawan ini tidak punya askes
atau bpjs. 38rbu biar bisa disuntik ranitidin, Ma . Papa pake 50rbu yah, biar
sekarang papa ke rumah”, katanya lagi.
Tanpa
berpikir panjang lagi. Saya berkata : “Yah sudah, datang ambil sini sudah, pakai
saja yang ada”. Lalu klik pembicaraan selesai.
Beberapa
menit kemudian suami saya muncul dengan tergesa-gesa, mengambil uang dan
kembali pergi.
Ada
kekhawatiran bagaimana dengan kami besok, bagaimana kalau si balita ini panas
lagi nanti malam, dan persediaan obat sedang tak ada? Bagaimana ini, bagaimana
itu. Tiba-tiba terlintas satu ayat kitab suci yang sering saya baca : “Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata
: “Apakah yang akan kamu makan, Apakah yang akan kamu minum?”. Saya ke
kamar membuka alkitab mencari letak ayat itu dan di sana dia berada Matius 6 : 31-34. Lalu saya berdoa
sebentar : “Bapa, terimakasih karena kami masih bisa di berikan kesempatan
untuk membantu, di saat kami sendiri sedang susah. Saya percaya Bapa, bahwa
Engkau sendiri akan mencukupkan segala kebutuhan kami, Amin.”
Kekhawatiran
itu terkendali sekarang dan saya mulai melanjutkan menyapu sambil bermain
dengan Melodya putri kami, dengan penuh sukacita.
Beberapa
jam kemudian, persis ketika saya sedang mengepel lantai dapur, suami saya tiba
membawa seikat sayur, satu tas kecil berisi tahu dan satu tas kecil lagi berisi
telur. Saya agak heran : “Papa ada dapat berkat kah?” tanya saya.
“Tidak Ma.
Ini papa belanja pakai uang 50rbu yang tadi. Papa sampai di rumah sakit,
istrinya sudah ada Ma, dan sudah ditangani”, jawab suami saya.
“Ah begitu
kah?” saya bergumam. Sepertinya Tuhan tahu kalau kita lebih membutuhkan uang
itu, sehingga dikembalikannya lagi kepada kita J.
“Mama,
sayurnya biar papa yang masak,” katanya.
“Baiklah
kalau begitu, biar mama cuci piring dan bersihkan ikan, selesai masak api
kompornya jangan dimatikan”, saya menjawabnya.
Dan kami
menikmati makan malam itu dengan penuh rasa syukur.
Ada
kedamaian di dalam hati saya. Dan cerita ini ada hanya untuk berbagi rasa
betapa indahnya berbagi. Semoga nanti, ketika saya di berikan kepercayaan untuk
bekerja dan mendapatkan penghasilan, saya bersama suami bisa menjadi saluran
berkat buat orang-orang di sekitar. Bahkan ketika kami belum bisa memberikan
bantuan secara materi, telinga kami selalu siap menjadi tempat menampung keluh
kesah ; tangan dan kaki kami bisa menjadi perpanjangan tangan mereka yang
membutuhkan ; terlebih lagi hati kami senantiasa di berikan hati yang tulus dan
penuh kasih. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar