Seperti biasa setelah jam pulang
sekolah, saya menemani anak laki-laki saya makan atau sekedar duduk bercerita
di meja makan. Dan dia mulai memberikan laporan tentang nila-nilainya. Hari
kedua adlaah pelajaran Matematika, dan tidak seperti mata pelajaran lainnya,
seperti ada yang terlewatkan tidak ada laporan tentang pelajaran Matematika.
“Bagaimana dengan Matematika,
Kak?” tanya saya.
“Belum, Ma. Suster belum selesai
periksa,” jawabnya.
Selalu seperti itu hingga hari
Sabtu, hari terakhir yang ditutup dengan ujian Bahasa Inggris. Saya bertanya
lagi, “Kenapa suster periksa Matematikanya lama sekali?” Belum sempat dia
menjawab, saya tanyakan kembali, “Atau kakak Remedi?”
Dia terdiam dan ada sedih disana,
“Iya, Ma. Kakak Remedi Matematika. Nilai tertinggi 74 dan nilai kakak Cuma 69,
kurang 1 nilai saja Ma dari 70.”
Kali ini saya yang terdiam, baru sekali ini dia
remedi dan di mata pelajaran kesukaannya. Sebelumnya saya memang harus ke
kampung selama dua minggu untuk suatu urusan, sehingga tidak bisa menemaninya belajar. Papanya
sendiri harus lari sana-sini, membagi waktu antara jam kerja yang padat dan mengantar
jemputnya.
“Mana lembaran soal
Matematikanya, bawakan buat mama segera setelah kaka selesai bertukar pakaian.”
kata saya.
Dia bergegas ke kamarnya,
berganti pakaian dan membawakan 3 lembar kertas soal ujiannya. Saya memperhatikannya
dengan seksama. “Kakak kehabisan waktu, Ma. Bagian ke-3 yang soal cerita itu,tidak
bisa kakak selesaikan,” katanya sambil menunjukkan lembaran ketiganya.
“Lain kali kalau remedi bilang
remedi, tidak perlu takut. Mama juga pernah koq dapat nol waktu sekolah dahulu,
dan harus remedi. Sekarang makan dulu setelah itu kita kerjakan sama-sama.” jawab
saya.
Dan betapa kagetnya saya, anak
ini tidak terbiasa dengan soal cerita. Entah bagaimana dengan kawan-kawan
lainnya. Waktu di kelas III, kami memang mengerjakan soal bersama, dan beberapa
kali saya menunjukkan kepadanya bagaimana mengerjakan soal yang berbentuk
cerita. Tapi sejak naik kelas IV, di jam belajar, dia mengerjakan soal-soal
latihan di buku, masih ditemani saya dan memang harus saya akui kami jarang
mengerjakan soal cerita. Dan PRnya hampir tidak ada soal cerita, sebagian besar
penyelesaian persamaan Matematika.
Soal cerita dapat diselesaikan
dengan empat langkah :
1. Membaca dengan seksama soalnya. Apa
yang kita ketahui dan apa yang harus kita cari?
2. Membuat model Matematika. Tergantung
dari kita, cara terbaik mana yang ini kita pakai. Membuat tabel, menulis
persamaan, atau menggambar grafik.
3. Menyelesaikan Soal. Saatnya
menyelesaikan dengan Matematika. Jika tabel tidak bisa memecahkan masalah, buat
rencana baru.
4.
Cek
kembali jawaban. Horee, sudah selesai. Belum, belum selesai. Cek kembali
jawaban kita. Pastikan kita sudah menjawab dengan benar. Selalu ada kesalahan
kecil. Pengecekan cepat perlu untuk membantu kita mengecek jika ada error.
Saya bukan seorang guru
Matematika,tetapi mengingat bagaimana kerasnya kami dididik sewaktu sekolah
dahulu, akhirnya membuat saya menyukai soal-soal dalam bentuk cerita. Dan buat
saya Soal cerita itu mengasah nalar kita untuk berpikir, apalagi jika soalnya
semakin sulit.
Dulu waktu SD
hingga SMA, PR yang kami dapatkan lebih banyak berupa soal cerita. Di akhir
pelajaran biasanya guru mendikte dan kami mencatat. Ketika di rumah soal itu
kemudian, disalin kembali dan dikerjakan dengan menulis kembali soalnya,
diketahui, ditanya, dan kesimpulan/jadi yang sering diberi simbol tiga titik
membentuk segitiga, waktu di SMA.
Bagaimana membuat anak-anak
tertarik dan menjadi suka dan dengan rela hati mau mengerjakan, menulis kalimat
matematikanya, sudah seharusnya ditanamkan sejak SD. Dalam hal ini saya tidak
ingin melemparkan semua ini ke pihak sekolah, sebagai orang tua saya memiliki
kewajiban penuh untuk memberikan pendampingan, memberikan semua ilmu yang saya
punya untuk anak-anak saya.
Dan setelah saya menemaninya,
selama beberapa jam di hari Sabtu dan Minggu, di hari Senin anak saya pulang
dan semangat menunjukkan sebuah lembaran kertas yang berisi soal dan jawaban,
karena rupanya lembaran soal tidak dibawa pulang.
Beberapa soal bisa dia kerjakan
dengan baik, dengan satu soal dengan bahasa yang masih terbolak-balik. Tidak
masalah. Karena akhirnya, saya cukup puas karena ada beberapa hal yang dia
pelajari disini:
1. Meskipun
dia mengatakan dia menyukai pelajaran Matematika, tetapi tidak berarti dia lalu
mengabaikan jam belajarnya, menganggap enteng, “Ah saya sudah bisa, tidak perlu
belajar.” Karena menurut saya untuk mengasah nalar kita dalam menyelesaikan soal,
maka kita perlu melakukan banyak latihan soal.
2. Soal
cerita, sama pentingnya dengan bentuk soal lainnya, bahkan bisa dibilang lebih
tinggi nilai dan bobotnya, karena untuk menyelesaikan kita perlu memahami
sebuah cerita. Kalau untuk membaca, menganalisa dan menulis diketahui,
ditanyakan saja sudah malas, bagaimana bisa menyelesaikannya?
3. Jujur.
Jangan hanya berani menunjukkan nilai yang baik tapi dengan berani menunjukkan
nilai yang kurang baik artinya dia mengakui bahwa dia punya masalah dan dengan
berani terbuka, masalah bisa diselesaikan bersama.
Ini adalah PR buat saya, dan saya
bertekad untuk terus mendampinginya, bagaimana membuat dia tertarik sehingga
boleh punya dasar yang kuat untuk ke jenjang pendidikan berikutnya.
Kampung Biru, Rote-Ndao.
31/10-2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar