Jumat, 30 Oktober 2015

Anak dan Soal Cerita

Seperti biasa setelah jam pulang sekolah, saya menemani anak laki-laki saya makan atau sekedar duduk bercerita di meja makan. Dan dia mulai memberikan laporan tentang nila-nilainya. Hari kedua adlaah pelajaran Matematika, dan tidak seperti mata pelajaran lainnya, seperti ada yang terlewatkan tidak ada laporan tentang pelajaran Matematika.

“Bagaimana dengan Matematika, Kak?” tanya saya.

“Belum, Ma. Suster belum selesai periksa,” jawabnya.

Selalu seperti itu hingga hari Sabtu, hari terakhir yang ditutup dengan ujian Bahasa Inggris. Saya bertanya lagi, “Kenapa suster periksa Matematikanya lama sekali?” Belum sempat dia menjawab, saya tanyakan kembali, “Atau kakak Remedi?”

Dia terdiam dan ada sedih disana, “Iya, Ma. Kakak Remedi Matematika. Nilai tertinggi 74 dan nilai kakak Cuma 69, kurang 1 nilai saja Ma dari 70.”

Kali ini saya yang terdiam, baru sekali ini dia remedi dan di mata pelajaran kesukaannya. Sebelumnya saya memang harus ke kampung selama dua minggu untuk suatu urusan, sehingga tidak bisa menemaninya belajar. Papanya sendiri harus lari sana-sini, membagi waktu antara jam kerja yang padat dan mengantar jemputnya.


“Mana lembaran soal Matematikanya, bawakan buat mama segera setelah kaka selesai bertukar pakaian.” kata saya.

Dia bergegas ke kamarnya, berganti pakaian dan membawakan 3 lembar kertas soal ujiannya. Saya memperhatikannya dengan seksama. “Kakak kehabisan waktu, Ma. Bagian ke-3 yang soal cerita itu,tidak bisa kakak selesaikan,” katanya sambil menunjukkan lembaran ketiganya.

“Lain kali kalau remedi bilang remedi, tidak perlu takut. Mama juga pernah koq dapat nol waktu sekolah dahulu, dan harus remedi. Sekarang makan dulu setelah itu kita kerjakan sama-sama.” jawab saya.

Dan betapa kagetnya saya, anak ini tidak terbiasa dengan soal cerita. Entah bagaimana dengan kawan-kawan lainnya. Waktu di kelas III, kami memang mengerjakan soal bersama, dan beberapa kali saya menunjukkan kepadanya bagaimana mengerjakan soal yang berbentuk cerita. Tapi sejak naik kelas IV, di jam belajar, dia mengerjakan soal-soal latihan di buku, masih ditemani saya dan memang harus saya akui kami jarang mengerjakan soal cerita. Dan PRnya hampir tidak ada soal cerita, sebagian besar penyelesaian persamaan Matematika.

Soal cerita dapat diselesaikan dengan empat langkah :
1.       Membaca dengan seksama soalnya. Apa yang kita ketahui dan apa yang harus kita cari?
2.       Membuat model Matematika. Tergantung dari kita, cara terbaik mana yang ini kita pakai. Membuat tabel, menulis persamaan, atau menggambar grafik.
3.       Menyelesaikan Soal. Saatnya menyelesaikan dengan Matematika. Jika tabel tidak bisa memecahkan masalah, buat rencana baru.
4.       Cek kembali jawaban. Horee, sudah selesai. Belum, belum selesai. Cek kembali jawaban kita. Pastikan kita sudah menjawab dengan benar. Selalu ada kesalahan kecil. Pengecekan cepat perlu untuk membantu kita mengecek jika ada error.

Saya bukan seorang guru Matematika,tetapi mengingat bagaimana kerasnya kami dididik sewaktu sekolah dahulu, akhirnya membuat saya menyukai soal-soal dalam bentuk cerita. Dan buat saya Soal cerita itu mengasah nalar kita untuk berpikir, apalagi jika soalnya semakin sulit.

Dulu waktu SD hingga SMA, PR yang kami dapatkan lebih banyak berupa soal cerita. Di akhir pelajaran biasanya guru mendikte dan kami mencatat. Ketika di rumah soal itu kemudian, disalin kembali dan dikerjakan dengan menulis kembali soalnya, diketahui, ditanya, dan kesimpulan/jadi yang sering diberi simbol tiga titik membentuk segitiga, waktu di SMA.

Bagaimana membuat anak-anak tertarik dan menjadi suka dan dengan rela hati mau mengerjakan, menulis kalimat matematikanya, sudah seharusnya ditanamkan sejak SD. Dalam hal ini saya tidak ingin melemparkan semua ini ke pihak sekolah, sebagai orang tua saya memiliki kewajiban penuh untuk memberikan pendampingan, memberikan semua ilmu yang saya punya untuk anak-anak saya.
Dan setelah saya menemaninya, selama beberapa jam di hari Sabtu dan Minggu, di hari Senin anak saya pulang dan semangat menunjukkan sebuah lembaran kertas yang berisi soal dan jawaban, karena rupanya lembaran soal tidak dibawa pulang.

Beberapa soal bisa dia kerjakan dengan baik, dengan satu soal dengan bahasa yang masih terbolak-balik. Tidak masalah. Karena akhirnya, saya cukup puas karena ada beberapa hal yang dia pelajari disini:
1.  Meskipun dia mengatakan dia menyukai pelajaran Matematika, tetapi tidak berarti dia lalu mengabaikan jam belajarnya, menganggap enteng, “Ah saya sudah bisa, tidak perlu belajar.” Karena menurut saya untuk mengasah nalar kita dalam menyelesaikan soal, maka kita perlu melakukan banyak latihan soal.
2.       Soal cerita, sama pentingnya dengan bentuk soal lainnya, bahkan bisa dibilang lebih tinggi nilai dan bobotnya, karena untuk menyelesaikan kita perlu memahami sebuah cerita. Kalau untuk membaca, menganalisa dan menulis diketahui, ditanyakan saja sudah malas, bagaimana bisa menyelesaikannya?
3.       Jujur. Jangan hanya berani menunjukkan nilai yang baik tapi dengan berani menunjukkan nilai yang kurang baik artinya dia mengakui bahwa dia punya masalah dan dengan berani terbuka, masalah bisa diselesaikan bersama.

Ini adalah PR buat saya, dan saya bertekad untuk terus mendampinginya, bagaimana membuat dia tertarik sehingga boleh punya dasar yang kuat untuk ke jenjang pendidikan berikutnya.
Kampung Biru, Rote-Ndao. 31/10-2015


                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar