Jumat, 11 Desember 2015

Sebuah Renungan

Hugo, berselonjor di atas kursi kerjanya. Ia tak duduk tegap seperti biasa ketika ia bekerja, kakinya direntangkan panjang-panjang, kepalanya terlihat hampir sejajar dengan bagian atas kursi itu. Asap rokok terlihat mengepul di sekitar, dia begitu menikmati kegiatan merokok, begitu santai begitu relaks, dengan sebelah tangannya menopang di lengan kursi itu. Sesekali ia tersenyum melihat putri kecilnya yang berlarian ke sana kemari, sibuk membagi waktu antara menghabiskan segelas susunya dan menyusun mainan-mainannya.

Carmenita, istrinya sedang menyapu ruangan yang bersebelahan dengan tempat dimana Hugo sedang duduk menikmati sebatang rokok. Ia hanya menarik napas panjang, kerinduannya untuk melihat sang suami bisa berhenti total merokok dan mulai memperhatikan kesehatannya seperti beranjak pergi menjauh. Ia mulai jarang mendoakannya, sepertinya ia sedang marah dengan Tuhan. Meskipun ia tahu energi Illahi sendiri memintanya untuk terus berdoa. Dia masih terus berdoa setiap saat, tapi belakangan kekhusuyukannya mulai berkurang, ia mulai jarang memegang manik-manik kecil dan mungkin hal itu jugalah yang membuat hidupnya terasa semakin berat, terasa sulit baginya untuk menerima beberapa hal dalam hidup. Hal-hal ini dan masih banyak lagi yang selalu menjadi bahan peperangan dalam batinnya.
Ia mulai bertanya pada Tuhannya ; kenapa Tuhan mengambil orang-orang tersayangnya?
Sejak beberapa minggu lalu bayangan seseorang, dua orang, tiga orang, empat lima dan beberapa Saya tidak perlu kaya secara finansial untuk bisa memberi. Jika punya kelebihan apapun itu semoga saya selalu bisa sumbangkan keterampilan saya kepada orang lain. Jika saya punya waktu saya bisa menyediakan telinga untuk mendengarkan cerita, memberikan sentuhan penuh kasih atau kebaikan apa saja kepada sekitar saya, dan orang-orang terlupakan.

Karena satu kebaikan kecil bisa menular menjadi kebaikan-kebaikan yang lain…..

orang lainnya, yang ia rindukan terus hadir di dalam pikirannya, dan satu,dua,tiga.empat diantaranya telah pergi. Ada banyak air mata kesedihan yang berubah menjadi kumpulan hikmat-hikmat. Kalau saja mereka masih ada dan dia masih terus belajar untuk menerima semua kenyataan pahit.
Kenapa begitu susah bagi orang lain untuk mengampuni, dia tidak mengatakan mengampuni itu mudah untuknya, namun sejauh perjalanan hidupnya ia telah mampu mengampuni dengan baik dan ia boleh berbangga untuk itu sesekali ada banyak penyesalan untuk kesalahannya ternyata pengampunan adalah sesuatu yang harus dipelajari setiap saat setiap waktu.

“Karena ketika seseorang tahu memberi ampun maka ia menyediakan begitu banyak rahmat untuk dirinya sendiri’ kalimat milik Sr. Faustina itu selalu ia ingat di saat kebencian datang.

Dan mengapa ada jenis orang, yang berkata aku hidup bukan untuk menyenangkan orang lain; semacam slogan yang awalnya membuat dia terus menggelengkan-gelengkan kepalanya, dia merasa aneh mungkin dirinya juga seperti itu.

Orang-orang yang mulai melakukan apa saja menurut kehendak mereka sesuai kesenangan mereka, terus berdoa, terus menyerukan nama Tuhan, namun kehilangan kepekaan terhadap arti kesunyian sesamanya. Bahwa ada diam yang berarti setuju, ada juga diam yang berarti ah biarlah tokh itu bukan urusanku, siapakah aku ini? Ada juga diam yang lalu pergi menghindar ke tempat-tempat sepi mengasingkan diri membawa luka hati, diam yang akhirnya di beri label “tak dewasa karena menghindar dan tak berani menghadapi.” Sayangnya dia pun merasa bahwa dia pun sering seperti mengartikan diam sebagai ‘Ya’ lalu mengabaikan diam dengan arti yang lain.


Orang-orang lansia mengapa ada yang menjadi begitu kekanak-kanakkan dan yang lainnya begitu tenang menghayati hidup dan penuh kepasrahan seakan berkata : “Saya siap Tuhan, ambil saya kapan saja.” Ada kematian yang datang dalam diam ada juga yang diawali dengan semacam penyiksaan di api penyucian. Dia pun tak henti memohon Tuhan memanggilnya tanpa rasa sakit berkepanjangan, juga dalam diam dan tak merepotkan orang-orang di sekitarnya. Menua dengan hikmat itu juga menjadi harapannya.

Pikirannya adalah sebuah medan pertempuran. Dia terus memanggil kekuatan untuk membentengi diri terhadap setiap pikiran negatif dan juga berusaha membunuh kalimat-kalimat yang menyakiti hatinya, pikiran-pikiran yang tak henti berusaha untuk mencuri sukacitanya. “Sepertinya aku akan mulai memegang manik-manik kecil itu, biarlah aku bawa semuanya di dalam doa, aku yakin Tuhan pasti mampu memurnikan semuanya,” begitu Carmenita menyerukan dalam hatinya.
Carmenita berdiri tanpa melakukan gerakan menyapu, sapu itu masih ada ditangannya, dengan sedikit menekannya ke lantai dia berkata kepada Hugo : “Hmmmm ngepul terus e, Pa. Kapan bisa berhenti?

Dia menyandarkan sapu itu di tembok, dan pergi duduk di bawah kaki suaminya. Ia memijat-mijat kaki suaminya berharap itu bisa melepaskan sedikit lelahnya. “Pa, tidak bisakah engkau berhenti merokok. Setidaknya kurangilah,” kata Carmenita dengan nada suara memohon.

“Nikmati hidup, Ma. Begini sudah caraku menikmati hidup. Pulang kerja, capek lihat mama ceria apalagi kalau lagi bikin kue, lihat anak-anak sehat, pintar, lihat mereka bermain, hanya lihat saja Ma, tapi jangan datang mendekat, begitu saja sudah buat aku bahagia. Rasanya semua capek, kepenatan hilang seketika, rasanya semacam ada semangat baru,” kata Hugo membalas istrinya.
“Iya Pa, tapi kurangilah merokok.” Kali ini Carmenita hanya membatin.

Langkah kecil bocah dua tahun Hannah namanya, datang mendekati mereka dengan sedikit berlompatan membuyarkan percakapan mereka, Hannah datang bergelayut manja di leher Carmenita memberikannya kecupan lalu duduk di sampingnya dan mulai ikut memijat kaki Hugo yang satunya lagi. Hugo tersenyum dan tertawa melihat tingkah Hannah putrinya, ia lalu mengangkat Hannah duduk di pangkuannya, dan seketika ia mendapat pelukan dan kalimat yang ditarik panjang ; “Sayaaaaaaaaanggg Papa.”

Carmenita tertawa melihat aksi Hannah, Joel berlarian datang mendekati mereka, mulai menganggu Hannah dan seketika semua itu menjadi kehebohan luar biasa. Carmenita meninggalkan mereka bertiga yang sedang bermain dan melanjutkan pekerjaannya menyapu. Senyum manis ada dibibirnya sambil membatin “Ah Tuhan kami tidak memiliki harta duniawi apapun, tapi keagungan-Mu selalu ada di setiap hal-hal sederhana ini.”

Setelah semua pergolakan itu Carmenita memilih untuk menjadi lebih kuat dari sebelumnya dan tak ingin menyerah, ia memilih untuk lebih dekat dengan Tuhannya ketimbang harus meninggalkan Tuhan.

Dia menyalakan sebatang lilin tepat pukul 6 sore, di saat gelap mulai merayapi sekitarnya, dengan manik-manik di tangannya dia mulai mendaraskan Rosario, untuk memurnikan hatinya dari benci, dendam, iri, ketidakpuasan, dan semua emosi negatifnya, memohon ampun yang tak henti untuk semua kesalahan; juga melepaskan pengampunan dan berujud bagi jiwa-jiwa dalam kemalangan dan juga yang sudah pergi mendahului, tak lupa ia meminta mata hati yang peka untuk melihat hati mereka yang miskin, miskin seperti yang didefinisikan oleh Mother Theresa, sang inspirator dalam hidupnya.


Keadaan masih tidak berubah, masih sama di esok hari atau entah untuk berapa lama lagi, Carmenita memutuskan untuk merubah pemikirannya seperti doa St. Agustinus untuk menerima keadaan yang tidak dapat diubahnya dengan hati besar.  
Kampung Biru, Ba’a Rote. 2015 oktober


Tidak ada komentar:

Posting Komentar