Hugo, berselonjor di atas kursi
kerjanya. Ia tak duduk tegap seperti biasa ketika ia bekerja, kakinya
direntangkan panjang-panjang, kepalanya terlihat hampir sejajar dengan bagian
atas kursi itu. Asap rokok terlihat mengepul di sekitar, dia begitu menikmati
kegiatan merokok, begitu santai begitu relaks, dengan sebelah tangannya
menopang di lengan kursi itu. Sesekali ia tersenyum melihat putri kecilnya yang
berlarian ke sana kemari, sibuk membagi waktu antara menghabiskan segelas
susunya dan menyusun mainan-mainannya.
Carmenita, istrinya sedang
menyapu ruangan yang bersebelahan dengan tempat dimana Hugo sedang duduk
menikmati sebatang rokok. Ia hanya menarik napas panjang, kerinduannya untuk
melihat sang suami bisa berhenti total merokok dan mulai memperhatikan
kesehatannya seperti beranjak pergi menjauh. Ia mulai jarang mendoakannya,
sepertinya ia sedang marah dengan Tuhan. Meskipun ia tahu energi Illahi sendiri
memintanya untuk terus berdoa. Dia masih terus berdoa setiap saat, tapi
belakangan kekhusuyukannya mulai berkurang, ia mulai jarang memegang
manik-manik kecil dan mungkin hal itu jugalah yang membuat hidupnya terasa
semakin berat, terasa sulit baginya untuk menerima beberapa hal dalam hidup. Hal-hal
ini dan masih banyak lagi yang selalu menjadi bahan peperangan dalam batinnya.
Ia mulai bertanya pada Tuhannya ; kenapa Tuhan mengambil
orang-orang tersayangnya?
Sejak beberapa minggu lalu bayangan seseorang, dua orang, tiga orang, empat lima dan beberapa Saya tidak perlu kaya secara finansial untuk bisa memberi. Jika punya kelebihan apapun itu semoga saya selalu bisa sumbangkan keterampilan saya kepada orang lain. Jika saya punya waktu saya bisa menyediakan telinga untuk mendengarkan cerita, memberikan sentuhan penuh kasih atau kebaikan apa saja kepada sekitar saya, dan orang-orang terlupakan.
Sejak beberapa minggu lalu bayangan seseorang, dua orang, tiga orang, empat lima dan beberapa Saya tidak perlu kaya secara finansial untuk bisa memberi. Jika punya kelebihan apapun itu semoga saya selalu bisa sumbangkan keterampilan saya kepada orang lain. Jika saya punya waktu saya bisa menyediakan telinga untuk mendengarkan cerita, memberikan sentuhan penuh kasih atau kebaikan apa saja kepada sekitar saya, dan orang-orang terlupakan.
Karena satu kebaikan kecil bisa menular menjadi
kebaikan-kebaikan yang lain…..
orang lainnya, yang ia rindukan
terus hadir di dalam pikirannya, dan satu,dua,tiga.empat diantaranya telah
pergi. Ada banyak air mata kesedihan yang berubah menjadi kumpulan
hikmat-hikmat. Kalau saja mereka masih ada dan dia masih terus belajar untuk
menerima semua kenyataan pahit.
Kenapa begitu susah bagi orang
lain untuk mengampuni, dia tidak mengatakan mengampuni itu mudah untuknya,
namun sejauh perjalanan hidupnya ia telah mampu mengampuni dengan baik dan ia
boleh berbangga untuk itu sesekali ada banyak penyesalan untuk kesalahannya
ternyata pengampunan adalah sesuatu yang harus dipelajari setiap saat setiap
waktu.
“Karena ketika seseorang tahu
memberi ampun maka ia menyediakan begitu banyak rahmat untuk dirinya sendiri’
kalimat milik Sr. Faustina itu selalu ia ingat di saat kebencian datang.
Dan mengapa ada jenis orang, yang
berkata aku hidup bukan untuk menyenangkan orang lain; semacam slogan yang awalnya
membuat dia terus menggelengkan-gelengkan kepalanya, dia merasa aneh mungkin
dirinya juga seperti itu.
Orang-orang yang mulai melakukan
apa saja menurut kehendak mereka sesuai kesenangan mereka, terus berdoa, terus
menyerukan nama Tuhan, namun kehilangan kepekaan terhadap arti kesunyian
sesamanya. Bahwa ada diam yang berarti setuju, ada juga diam yang berarti ah
biarlah tokh itu bukan urusanku, siapakah aku ini? Ada juga diam yang lalu
pergi menghindar ke tempat-tempat sepi mengasingkan diri membawa luka hati,
diam yang akhirnya di beri label “tak dewasa karena menghindar dan tak berani
menghadapi.” Sayangnya dia pun merasa bahwa dia pun sering seperti mengartikan
diam sebagai ‘Ya’ lalu mengabaikan diam dengan arti yang lain.
Orang-orang lansia mengapa ada yang
menjadi begitu kekanak-kanakkan dan yang lainnya begitu tenang menghayati hidup
dan penuh kepasrahan seakan berkata : “Saya siap Tuhan, ambil saya kapan saja.”
Ada kematian yang datang dalam diam ada juga yang diawali dengan semacam
penyiksaan di api penyucian. Dia pun tak henti memohon Tuhan memanggilnya tanpa
rasa sakit berkepanjangan, juga dalam diam dan tak merepotkan orang-orang di
sekitarnya. Menua dengan hikmat itu juga menjadi harapannya.
Pikirannya adalah sebuah medan
pertempuran. Dia terus memanggil kekuatan untuk membentengi diri terhadap
setiap pikiran negatif dan juga berusaha membunuh kalimat-kalimat yang
menyakiti hatinya, pikiran-pikiran yang tak henti berusaha untuk mencuri
sukacitanya. “Sepertinya aku akan mulai memegang manik-manik kecil itu, biarlah
aku bawa semuanya di dalam doa, aku yakin Tuhan pasti mampu memurnikan semuanya,”
begitu Carmenita menyerukan dalam hatinya.
Carmenita berdiri tanpa melakukan
gerakan menyapu, sapu itu masih ada ditangannya, dengan sedikit menekannya ke
lantai dia berkata kepada Hugo : “Hmmmm ngepul terus e, Pa. Kapan bisa
berhenti?
”
”
Dia menyandarkan sapu itu di
tembok, dan pergi duduk di bawah kaki suaminya. Ia memijat-mijat kaki suaminya
berharap itu bisa melepaskan sedikit lelahnya. “Pa, tidak bisakah engkau
berhenti merokok. Setidaknya kurangilah,” kata Carmenita dengan nada suara
memohon.
“Nikmati hidup, Ma. Begini sudah
caraku menikmati hidup. Pulang kerja, capek lihat mama ceria apalagi kalau lagi
bikin kue, lihat anak-anak sehat, pintar, lihat mereka bermain, hanya lihat
saja Ma, tapi jangan datang mendekat, begitu saja sudah buat aku bahagia.
Rasanya semua capek, kepenatan hilang seketika, rasanya semacam ada semangat
baru,” kata Hugo membalas istrinya.
“Iya Pa, tapi kurangilah merokok.”
Kali ini Carmenita hanya membatin.
Langkah kecil bocah dua tahun Hannah
namanya, datang mendekati mereka dengan sedikit berlompatan membuyarkan percakapan
mereka, Hannah datang bergelayut manja di leher Carmenita memberikannya kecupan
lalu duduk di sampingnya dan mulai ikut memijat kaki Hugo yang satunya lagi.
Hugo tersenyum dan tertawa melihat tingkah Hannah putrinya, ia lalu mengangkat
Hannah duduk di pangkuannya, dan seketika ia mendapat pelukan dan kalimat yang
ditarik panjang ; “Sayaaaaaaaaanggg Papa.”
Carmenita tertawa melihat aksi
Hannah, Joel berlarian datang mendekati mereka, mulai menganggu Hannah dan
seketika semua itu menjadi kehebohan luar biasa. Carmenita meninggalkan mereka
bertiga yang sedang bermain dan melanjutkan pekerjaannya menyapu. Senyum manis
ada dibibirnya sambil membatin “Ah Tuhan kami tidak memiliki harta duniawi
apapun, tapi keagungan-Mu selalu ada di setiap hal-hal sederhana ini.”
Setelah semua pergolakan itu
Carmenita memilih untuk menjadi lebih kuat dari sebelumnya dan tak ingin
menyerah, ia memilih untuk lebih dekat dengan Tuhannya ketimbang harus
meninggalkan Tuhan.
Dia menyalakan sebatang lilin
tepat pukul 6 sore, di saat gelap mulai merayapi sekitarnya, dengan manik-manik
di tangannya dia mulai mendaraskan Rosario, untuk memurnikan hatinya dari
benci, dendam, iri, ketidakpuasan, dan semua emosi negatifnya, memohon ampun
yang tak henti untuk semua kesalahan; juga melepaskan pengampunan dan berujud
bagi jiwa-jiwa dalam kemalangan dan juga yang sudah pergi mendahului, tak lupa
ia meminta mata hati yang peka untuk melihat hati mereka yang miskin, miskin
seperti yang didefinisikan oleh Mother Theresa, sang inspirator dalam hidupnya.
Keadaan masih tidak berubah,
masih sama di esok hari atau entah untuk berapa lama lagi, Carmenita memutuskan
untuk merubah pemikirannya seperti doa St. Agustinus untuk menerima keadaan
yang tidak dapat diubahnya dengan hati besar.
Kampung Biru, Ba’a Rote. 2015
oktober
Tidak ada komentar:
Posting Komentar