Lelakiku menatap piringnya yang
telah kosong, dengan pandagan yang juga kosong..! Masih berseragam kantor,
sempatkan pulang untuk makan siang dan melihat anak-anak. “Capek juga e, turun
lapangan, tapi enaknya ada kesempatan untuk foto-foto pemandangan. Pasti Ba’i (panggilan
untuk bapak mertua ; ba’i=kakek) dulu juga begini. Ba’i begitu hebat di
lapangan khususnya di pekerjaan jalan dan jembatan, tapi yah begitulah waktu
dengan papa dan Ina(nama saudarinya) jadi semakin sedikit. Memori yang kami
punya memang tidak banyak, tetapi semuanya membekas dan tidak akan terlupakan.
Papa ingat dahulu karena ba’i belum pulang, biasanya papa meletakkan buku PR
papa yang sudah dikerjakan di meja kerja ba’i. Ketika bangun besok harinya
sudah ada kertas HVS di sampingnya, dengan perbaikan dari ba’i. Biasanya 1 atau
2 nomor harus papa tulis ulang, karena punya ba’i sudah pasti yang benar. Nanti ada John (nama adik suamiku), baru
keadaannya berubah, karena pangkatnya sudah lebih tinggi Ba’i jadi jarang turun
lapangan.”
Aku tak bisa menatap matanya,
tapi aku yakin sedang berkaca-kaca.
Kali ini aku tak duduk berhadap-hadapan
dengan suamiku. Bersandar di lantai sambil merentangkan kaki yang letih di
lantai. “Setidaknya papa punya seseorang yang bisa diteladani. Setidaknya papa
masih punya kenangan manis, meski tak banyak yang bisa dikenang. Di samping
itu, didikan almarhum bapak mertua telah menjadikan papa, dan saudara-saudari papa
sebagai pribadi-pribadi yang cerdas, tangguh dan berkarakter. Bersyukurlah. Karena
di luar sana, ada banyak orang yang mungkin hanya bisa mengenang sosok dia si
pembawa sel hingga terbentuknya sang janin, dari selembar foto, atau bahkan tak
ada foto sama sekali karena, sel-sel itu dipaksa masuk membuahi ; tak
kuasa menahan ganasnya nafsu birahi. Ada pula yang memiliki bapak di sampingnya,
tanpa kenangan indah selain selama kekerasan masa kecilnya,” batinku.
Selain tegas, disiplin dan juga
jujur, bapak juga terkenal keras. Bapak tak suka dengan rengekan dan tangisan
anak kecil. Untuk kesalahan tertentu sudah pasti ada hukaman fisik. Pernah suamiku
bercerita : “Ketika mereka ketahuan melakukan kesalahan kecil, sebelum
ketahuan mereka sudah lebih dahulu tersiksa oleh rasa takutnya sendiri. Takut dengan suara bapak yang
tidak menggelegar tetapi mampu membekukan otak mereka. Padahal setelah
itu terkadang bapak tidak mengapa-apakan mereka.” Mungkin karena bapak jarang
berbicara. Mengerjakan segala sesuatunya sendiri, dan tak boleh ada yang boleh
memegang perkakas-perkakas miliknya, seperti palu, obeng, mistar, pensil, dll. Dikarenakan
bapak tidak ingin dibuat pusing dengan harus mencari di mana letak
barang-barang itu. Biasanya jika salah satu barang-barang bapak hilang, sudah
pasti siapa yang ketahuan mengambilnya mendapat “ketukan manis” di jari-jarinya
atau hukuman fisik yang membuat “tobat”. Ketukan dengan nada-nada tinggi dan
melengking. Ketukan sekali dalam hidup yang membuat jera.
Diamnya, disiplinnya dan kerasnya
menjadikan bapak sosok yang ditakuti oleh suamiku dan saudari perempuannya.
Bapak mencintai mereka dengan caranya, tak banyak bicara tapi dengan tindakan.
Bapak selalu memenuhi kebutuhan mereka dengan cara-caranya. Karakter bapak yang
tegas dan mandiri, yang ditakuti secara tidak sadar membentuk anak-anaknya
menjadi pribadi mandiri, tegar dan tidak cengeng.
Bagaimana kita dididik, apakah
itu saya, dia ataukah anda tentu saja berbeda satu dengan yang lain. Cara,
situasi di mana kita dibesarkan menentukan karakter seperti apa kita nanti.
Mulai terlihat ketika kita memiliki anak kita sendiri. Pilihan ada di tangan
kita, mau menjadi orang tua seperti apa? Karena kita tidak bisa menentukan di
lingkungan keluarga seperti apa kita ingin dilahirkan, tetapi kita bisa
menentukan mau menjadi orang tua seperti apa kita nanti, memutuskan ikatan tradisi. Kegagalan sistem kita
perbaiki, sistem-sistem yang baik tinggal di lanjutkan saja.
Karena itu suamiku menjadi sangat
galau, ketika volume pekerjaan sedang tinggi-tingginya. Ketika harus pulang
malam dan dalam panggilan telp.nya ; “Ma, anak-anak sudah tidur…? Jangan tidurkan
adek dulu yah, papa masih ingin bermain dengannya.” Tapi apa daya balita itu
terkadang tak dapat menahan kantuknya untuk melihat papa. Bisa pulang lebih
awal dan melihat anak-anak, benar-benar memberikan sukacita luar biasa
untuknya. Kadang suamiku Cuma bisa menatap anak lelakinya yang sedang menggoda
adik balitanya yang sedang lucu-lucunya; dengan kaki kecilnya tak berhenti
bereksplorasi mengelilingi ruangan. “Ma e, capek-capek hilang e, lihat anak-anak
sehat dan ceria begini,” katanya. Suamiku, aku dan banyak orang tua lain di
luar sana, saya yakin belajar dari masa lalunya, memberikan lebih banyak waktu,
perhatian, pelukan, belaian, dari apa yang tak penah mereka miliki dahulu.
Penilaian kita akan seseorang
seringkali berpengaruh pada bagaimana kita
menyikapinya. Prasangka yang tidak perlu seringkali menimbulkan jarak yang
sebenarnya tidak perlu ada. Itu juga yang terjadi denganku. Dari cerita-cerita
suami, aku membentuk gambaranku sendiri tentangnya. Dan itu tidak baik awalnya.
Kini ketika senyumnya tak dapat lagi kami lihat, wejangan-cerita, percakapan
singkat bersama cucunya tak dapat lagi kami dengar. Kami Cuma bisa
mengenangnya, mencintainya dari lubuk hati yang paling dalam, merindukannya
dalam dekapan hampa, dan terkadang dalam helaan nafas yang panjang, menyisakan
cekungan embun di pelupuk mata.
Bapak, kami merindukanmu sangat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar