Minggu, 14 September 2014

Mau Jadi Orang Tua Seperti Apa?



Lelakiku menatap piringnya yang telah kosong, dengan pandagan yang juga kosong..! Masih berseragam kantor, sempatkan pulang untuk makan siang dan melihat anak-anak. “Capek juga e, turun lapangan, tapi enaknya ada kesempatan untuk foto-foto pemandangan. Pasti Ba’i (panggilan untuk bapak mertua ; ba’i=kakek) dulu juga begini. Ba’i begitu hebat di lapangan khususnya di pekerjaan jalan dan jembatan, tapi yah begitulah waktu dengan papa dan Ina(nama saudarinya) jadi semakin sedikit. Memori yang kami punya memang tidak banyak, tetapi semuanya membekas dan tidak akan terlupakan. Papa ingat dahulu karena ba’i belum pulang, biasanya papa meletakkan buku PR papa yang sudah dikerjakan di meja kerja ba’i. Ketika bangun besok harinya sudah ada kertas HVS di sampingnya, dengan perbaikan dari ba’i. Biasanya 1 atau 2 nomor harus papa tulis ulang, karena punya ba’i sudah pasti yang benar.  Nanti ada John (nama adik suamiku), baru keadaannya berubah, karena pangkatnya sudah lebih tinggi Ba’i jadi jarang turun lapangan.” 

Aku tak bisa menatap matanya, tapi aku yakin sedang berkaca-kaca.
Kali ini aku tak duduk berhadap-hadapan dengan suamiku. Bersandar di lantai sambil merentangkan kaki yang letih di lantai. “Setidaknya papa punya seseorang yang bisa diteladani. Setidaknya papa masih punya kenangan manis, meski tak banyak yang bisa dikenang. Di samping itu, didikan almarhum bapak mertua telah menjadikan papa, dan saudara-saudari papa sebagai pribadi-pribadi yang cerdas, tangguh dan berkarakter. Bersyukurlah. Karena di luar sana, ada banyak orang yang mungkin hanya bisa mengenang sosok dia si pembawa sel hingga terbentuknya sang janin, dari selembar foto, atau bahkan tak ada foto sama sekali karena, sel-sel itu dipaksa masuk membuahi ; tak kuasa menahan ganasnya nafsu birahi. Ada pula yang memiliki bapak di sampingnya, tanpa kenangan indah selain selama kekerasan masa kecilnya,” batinku.

Selain tegas, disiplin dan juga jujur, bapak juga terkenal keras. Bapak tak suka dengan rengekan dan tangisan anak kecil. Untuk kesalahan tertentu sudah pasti ada hukaman fisik. Pernah suamiku bercerita : “Ketika mereka ketahuan melakukan kesalahan kecil, sebelum ketahuan mereka sudah lebih dahulu tersiksa oleh rasa takutnya sendiri. Takut dengan suara bapak yang tidak menggelegar tetapi mampu membekukan otak mereka. Padahal setelah itu terkadang bapak tidak mengapa-apakan mereka.” Mungkin karena bapak jarang berbicara. Mengerjakan segala sesuatunya sendiri, dan tak boleh ada yang boleh memegang perkakas-perkakas miliknya, seperti palu, obeng, mistar, pensil, dll. Dikarenakan bapak tidak ingin dibuat pusing dengan harus mencari di mana letak barang-barang itu. Biasanya jika salah satu barang-barang bapak hilang, sudah pasti siapa yang ketahuan mengambilnya mendapat “ketukan manis” di jari-jarinya atau hukuman fisik yang membuat “tobat”. Ketukan dengan nada-nada tinggi dan melengking. Ketukan sekali dalam hidup yang membuat jera. 

Diamnya, disiplinnya dan kerasnya menjadikan bapak sosok yang ditakuti oleh suamiku dan saudari perempuannya. Bapak mencintai mereka dengan caranya, tak banyak bicara tapi dengan tindakan. Bapak selalu memenuhi kebutuhan mereka dengan cara-caranya. Karakter bapak yang tegas dan mandiri, yang ditakuti secara tidak sadar membentuk anak-anaknya menjadi pribadi mandiri, tegar dan tidak cengeng.

Bagaimana kita dididik, apakah itu saya, dia ataukah anda tentu saja berbeda satu dengan yang lain. Cara, situasi di mana kita dibesarkan menentukan karakter seperti apa kita nanti. Mulai terlihat ketika kita memiliki anak kita sendiri. Pilihan ada di tangan kita, mau menjadi orang tua seperti apa? Karena kita tidak bisa menentukan di lingkungan keluarga seperti apa kita ingin dilahirkan, tetapi kita bisa menentukan mau menjadi orang tua seperti apa kita nanti, memutuskan ikatan tradisi. Kegagalan sistem kita perbaiki, sistem-sistem yang baik tinggal di lanjutkan saja. 

Karena itu suamiku menjadi sangat galau, ketika volume pekerjaan sedang tinggi-tingginya. Ketika harus pulang malam dan dalam panggilan telp.nya ; “Ma, anak-anak sudah tidur…? Jangan tidurkan adek dulu yah, papa masih ingin bermain dengannya.” Tapi apa daya balita itu terkadang tak dapat menahan kantuknya untuk melihat papa. Bisa pulang lebih awal dan melihat anak-anak, benar-benar memberikan sukacita luar biasa untuknya. Kadang suamiku Cuma bisa menatap anak lelakinya yang sedang menggoda adik balitanya yang sedang lucu-lucunya; dengan kaki kecilnya tak berhenti bereksplorasi mengelilingi ruangan. “Ma e, capek-capek hilang e, lihat anak-anak sehat dan ceria begini,” katanya. Suamiku, aku dan banyak orang tua lain di luar sana, saya yakin belajar dari masa lalunya, memberikan lebih banyak waktu, perhatian, pelukan, belaian, dari apa yang tak penah mereka miliki dahulu. 

Penilaian kita akan seseorang seringkali  berpengaruh pada bagaimana kita menyikapinya. Prasangka yang tidak perlu seringkali menimbulkan jarak yang sebenarnya tidak perlu ada. Itu juga yang terjadi denganku. Dari cerita-cerita suami, aku membentuk gambaranku sendiri tentangnya. Dan itu tidak baik awalnya. Kini ketika senyumnya tak dapat lagi kami lihat, wejangan-cerita, percakapan singkat bersama cucunya tak dapat lagi kami dengar. Kami Cuma bisa mengenangnya, mencintainya dari lubuk hati yang paling dalam, merindukannya dalam dekapan hampa, dan terkadang dalam helaan nafas yang panjang, menyisakan cekungan embun di pelupuk mata.

Bapak, kami merindukanmu sangat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar