Di kota kecil ini, di rumah
kontrakan yang jauh dari pasar, tak tahu mengendarai motor pula, alamaak…..Tentu pusing
ketika stok sayuran habis di kulkas. Waktu ke pasar biasanya 3 kali sehari,
bisa lebih tergantung kebutuhan dan apa saja yang hendak dibeli.
Beruntung setiap pagi, ada
mama-mama yang berjualan sayur dengan menjinjing baki, sayur itu dijajakan dari
ke rumah-rumah. Yang jadi masalah ketika dapur kita didatangi lebih dari 1
penjual sekaligus dengan selang waktu yang berbeda. Kalau penjualnya mengerti
bahwa kita masih punya sayuran di kulkas dan bisa datang kembali besok,
mending. Tapi sepertinya si mama penjual yang satu ini tidak begitu, dia sangat
memaksa dalam melariskan jualannya.
Ketika dia datang sudah bisa saya
kenal dari awal, dari gayanya menyapa dan maaf kalau boleh dikatakan
“sok akrab.”
Karena sebenarnya waktu itu adalah pertama kali saya melihatnya. Langganan saya
bukan mama ini.
Suatu ketika dia datang dan saya
sedang mandi. Suami saya memanggil ; “Ma, cepat mandinya, ada yang perlu nih.” “Siapa?”
tanya saya dari KM. Suami saya tidak menjawab. Saya segera bergegas. Dan ketika
menemui dia yang katanya ada keperluan dengan saya. “Kawan, beli sayur do,”
katanya. Karena memang stok sayur lagi tak ada saya pun membeli. Biasanya 5rbu
cukup untuk makan sehari. Lalu katanya lagi, “Nah, beli tambah do, 3 sepuluh
ribu.” “Aduh, maaf terlalu banyak, lagian kami Cuma berempat saja nih. Saya
beli 5rbu saja,” jawab saya. ‘Ayolah, ini su tinggal terakhir saja nih, beli
kasih habis su,’ katanya lagi. Rasa tidak suka mulai menyelinap di hati saya. Ini
orang jual koq maksa. Dan dengan tegas saya menolaknya. Saya bisa saja
membantumu, membeli semua sayurmu. Tapi tidak bisa saya lakukan, karena jika
berlebihan sayur-sayur itu bisa-bisa tidak dimasak dan tempatnya ada di ember
makanan sisa buat ternak tetangga.
Hari-hari berikutnya dia datang
kembali dengan gaya biasa “kawan, beli lagi do, kasih habis su, blah-blah.”
Saya sudah bisa menolaknya dengan tegas dan tanpa rasa bersalah.
Saya terbiasa membeli di salah
satu penjual sejak kami pindah ke sini. Dia beda dengan penjual-penjual yang
lain. Senyum selalu menghias bibirnya. Tubuhnya langsing dan tinggi, namun
tangguh. Setiap kali dia menjajakan dia tidak pernah masuk melewati pagar. Dari
luar pagar biasanya dia berteriak ; “Bo’i beli sayur ko?”. Dia menantikan jawaban
saya dengan tetap berdiri di luar. Ketika saya menjawab ;”Masih ada nih bo’i.” Maka
dia tak perlu masuk dan bertanya dua kali. Dan ketika saya menjawab : “Iya,
mari sudah, bawa sayur apa saja?” Diapun masuk dan berkata : “Ada banyak nih,
beta baru dari Busalangga (nama pasar di daerah kami).” Saya bisa mendengar
deru nafasnya yang tak beraturan, ketika dia melepaskan jinjingannya. Berusaha mengambil
nafas sebanyak mungkin, menggantikan oksigen-oksigen yang telah menguap menjadi
energi.
Ketika saya selesai berbelanja
dia akan berpamitan sembari berkata : “Makasih Bo’I e, beta su jalan nih.” Menyenangkan
berbelanja dengan penjual seperti dia. Tidak ada paksaan, dan selalu ada senyum
manis menghiasi bibirnya. Senyuman yang membuat kita sebagai pembeli tidak
terbebani perasaan bersalah ketika harus mengatakan “tidak.”.
Ini juga menjadi pembelajaran
buat saya. Jika nanti suatu saat saya memiliki bisnis sendiri, selain produk
yang saya jual. Attitude (sikap) saya sebagai penjual, juga menjadi faktor yang
sangat penting. Ramah dan penuh senyum adalah kunci nomor satu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar