Siang hari, semakin pening kepalaku mendengar teriakan
anak-anak saling berebut remote, pensil, plastik atau apa saja. Entah apa yang
ada dalam pikiran mereka. Sepertinya ingin memuaskan diri dengan kekuasaan
kecil yang mereka punya, ketika menyentuh suatu barang.
Aku pun jadi ikut berteriak, meminta mereka stop. Dan tak
ada hasilnya. Aku terdiam semakin lelah dan semakin terasa hendak pecah
kepalaku.
Ketika anak lelakiku masuk ke dalam kamar, kupeluk dan
berkata :
“Kak, bisakah kakak mengalah dengan adik? Kalau sesuatu barang sudah
dipegang sama adik, jangan dirampas, kasih saja. Kalau sudah begitu lebih baik
kakak masuk kamar, menggambar, membaca atau apa saja.” “Iya Mama, jawabnya.”
Hem dasar anak-anak, sebentar saja kata iya itu ada. Dan aku
menyerah. Sekali lagi aku berteriak dari dalam kamar, lalu terdiam. Tak berapa
lama, anak lelakiku melihatku dari balik pintu, memperhatikanku dan mendekat,
katanya “Mama pusing kah? Mama mau tidur?” “Iya,” jawabku. Dia memelukku
sebentar lalu mengambil selembar kertas dan pensilnya.
“Baguslah, sebaiknya kakak menggambar biar tidak rebut dengan
adik terus,” batinku. Beberapa saat kemudian selembar kertas di sodorkan
kepadaku : “Ini buat mama,”katanya.
Hatiku trenyuh seketika, yang aku lihat kemudian. Seorang anak
lelaki yang merasa bersalah karena sudah membuat mamanya pusing. Tulisan itu
tak sempurna, tapi yang kulihat usahanya untuk mengekspresikan rasa
bersalahnya, dan tidak peduli tak sempurna apapun, dia anak lelakiku, dia
peduli dan dia menyayangiku. Sekali lagi kupeluk dia dan berbisik “Kakak,
terimakasih e. Mama pusing bukan karena kakak, mama Cuma minta kakak mengerti
kalau mama lagi pusing, jadi kakak mengalah sedikit dengan adik e, biar kalian
tidak ribut dan mama bisa istirahat.”
Kelihatannya dia mengerti, setelah itu dia mengambil buku,
kertas dan pensil dan tiduran di sampingku sambil membaca atau menggambar. Selanjutnya
aku bisa beristirahat, sambil bercerita dengannya dan tertidur.
Tuhan terimakasih…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar