Rabu, 29 April 2015

Mengekang Lidah

Saya menyambutnya dengan senyum paling manis ketika ia keluar dari kamar, selesai beristirahat, “Bagaimana Pa. Sudah agak baikan kah, rasa lebih enak?” jawabannya sungguh di luar dugaan, jawaban dengan nada tinggi yang jarang  saya dengar dari mulutnya dalam hidup pernikahan kami.

Saya terdiam di meja makan, melakukan apa yang dimintanya, menahan isak. Ingin sekali saya membalas perkataanya, namun sekuat tenaga saya menelan kesesakan itu. Perlahan namun pasti saya akhirnya mampu menguasai kemarahan saya, ditanya baik-baik koq jawabnya begitu, hanya karena masalah sepele saja. Dalam emosi yang mereda saya membayangkan Ya ampun, apa yang terjadi jika saya membalasnya hanya karena masalah sepele ini, bisa terjadi kekerasan dalam rumah tangga itu, dan anak-anak itu tidak sepantasnya menyaksikannya.

Menit-menit berikutnya saya mencuci piring dalam diam, memasak dalam diam, tidak ingin bicara, masih kesal tetapi entah mengapa saya berpikir, “tidak baik seperti ini, toh saya tetap harus menyiapkan makanan untuknya, menyiapkanya, mustahil tanpa kata-kata, mustahil menggunakan bahasa isyarat. Maka saya mulai mengajaknya bicara, dan beberapa saat kemudian dia berkata : “Ma, nanti malam kita keluar kah, mau kemana?” “Tidak usah Pa, di rumah saja, tidak ada yang perlu dibeli”. Kalimat itu saya kenal sekali, dia selalu merasa bersalah, ketika tak mampu mengontrol emosinya dan dengan sangat terpaksa harus menggunakan nada tinggi terhadap anak-anaknya, maka selalu bisa saya tebak setengah-satu jam kemudian anak-anak sudah diajaknya pergi untuk membeli jajan, dan ketika mereka menikmati jajanan mereka dengan senyum dan tawa, dia akan berkata : “Ma e, biar ko dong nikmati jajannya, pa rasa bersalah su marah dong”.

Di meja makan : “Ma, papa sudah memutuskan untuk berhenti rokok, tapi papa tidak yakin apa bisa”. Saya mendongak dan menjawabnya : “Puji Tuhan papa e, mama dukung e. Jangan pikir tidak bisa papa harus berpikir papa bisa, dan papa pasti bisa…” (Bapa e, ternyata ini yang membuatnya uring-uringan karena hal sepele itu-dia sedang berusaha keras melawan keinginannya untuk merokok). 

Saya melanjutkan makan dengan penuh rasa syukur, Terima Kasih berton-ton ah bahkan berton-ton masih terasa kurang, terima kasih dengan segenap hati dan pikiran saya.

Mengingat-NYA membuat saya mampu mengekang lidah saya, dan atas pernyataannya yang sungguh semoga menjadi jawaban atas doa saya selama ini. Dan BAPA tuntun saya terus agar setiap saat saya bisa menjadi orang bijak yang menaruh lidah saya di atas pikiran saya dan bukan sebaliknya pikiran di atas lidah saya. 

Lidah bagaikan kemudi sebuah kapal besar, walaupun kecil, kemudi tersebut mengendalikan arah seluruh kapal, dan dengan cara yang sama, lidah akan mengendalikan seluruh kehidupan seseorang.
Untukmu yang tersayang, jangan menyerah tetap percaya bahwa engkau mampu.

Mencintaimu sepenuh hati.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar