Minggu, 09 November 2014

Jangan Bilang Aku Bodoh



Rasanya masih terlalu pagi untuk beranjak dari pembaringan; pengen tidur terus. Jam 4 subuh, geliat tubuh balitaku membuatku terbangun, dan sebelum geliat tubuhnya pecah menjadi tangisan aku bangun dan membuatkannya susu formula. Beberapa menit kemudian dia kembali tertidur dengan dot di mulutnya. Pada saat seperti ini saya dihadapkan pada dua keputusan tidur kembali untuk 30 menit ke depan dan akan ada kepanikan di mana-mana, ketergesa-gesaan dalam menyiapkan sarapan, menyiapkan keperluan anak dan suami, atau bangun saat ini juga dan memulai aktifitas. Bangun…..!

Udara masih belum juga hangat, langit sedikit terang tetapi belum terang benar, seperti masih menyiapkan peraduan untuk sang mentari. Sedikit perputaran bumi entah berapa derajat lagi ke timur, pantulan mentari sudah pasti akan menghangatkan bumi ini, teriknya lebih cepat terasa di jam 9 ; super terik akan menggantikan tempatnya terik dan membuat penghuni bumi seperti terpanggang kepanasan.

Sayup-sayup dari jauh terdengar alunan musik “sakitnya tuh disini”, rupanya tetanggaku juga sudah bangun. Tak lama kemudian dari tempatku berdiri mencuci piring, terdengar bentakan yang jelas sekali “Dien, lu nih bodok mau mati e”.
Entah apa yang dilakukan oleh bocah 3 tahun sehingga memutuskan tali kesabaran sang ayah. Anak itu mungkin belum mengerti apa-apa yang dimaksud dengan “bodok” saat ini, 4 tahun yang akan datang dia mungkin akan mengajukan protes atau menerimanya. Kesalahan yang sering dilakukan oleh orang tua, termasuk diriku. It’s a verbal abuse ; Pelabelan negatif pada anak.

Bentakan itu mengingatkanku akan kejadian beberapa hari lalu. Ada satu hal yang sudah sangat sering aku katakan kepada anak lelakiku, semacam “jangan” tapi masih di langgar juga. Teriknya udara, banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan, membuat aku dan aku yakin banyak orang tua lain  di luar sana juga mengalaminya. Tingginya tekanan selalu sulit untuk membuatku mengekang lidah ketika amarah telah mencapai ambang batas keruntuhan. Dan terjadilah ; dengan setengah berteriak dan nada yang tidak rendah aku berkata : “Kakak, kenapa kakak bodoh sekali? Sudah berapa kali mama bilang dan bla bla bla bla..” Dan ketika aku menyelesaikan kalimat terakhirku, terdengar jawaban anakku pelan-pelan : “Ma, jangan bilang kakak bodoh kah. Kakak kan pergi ke sekolah, jadi kakak tidak bodoh. Kakak tidak suka mama bilang kakak bodoh”. 

 Seperti bara api tersiram air, seketika itu juga aku terdiam. Tuhan, apa yang sudah aku lakukan. Sering sekali aku kehilangan kendali dan kekang atas lidahku ketika marah. Bocah lelakiku pasti terluka selama ini. Rasanya pasti sama seperti aku dimarahi bapak atau mama dahulu. Aku berharap pelabelan negatif ini tidak membekas dalam hidupnya. Tapi ucapan itu tak mungkin aku tarik kembali, dan masih ada kemungkinan akan terucap kembali di masa mendatang. Karena aku memang sedang belajar untuk belajar untuk mengenali amarahku dan mengekang lidah. Dan aku berharap bisa untuk tidak melakukannya lebih baik lagi.

 Setelah beberapa saat terdiam dengan berbagai pikiran ini. “Baiklah kakak, mama minta maaf. Terima kasih sudah mengingatkan mama. Tapi bisakah kakak mendengarkan apa yang mama katakan, sehingga mama tidak perlu  mengucapkan kata-kata yang kakak tidak ingin dengar? Kakak, tidak bodoh tapi apa yang kakak buat itu bodoh. Bukankah sudah dilarang untuk tidak melakukan itu. Kenapa masih buat juga, bukankah itu bodoh namanya. Karena kalau kita belajar, kalau kita tidak bodoh sekali dibilang harusnya sudah mengerti”, kataku. Dan masih dengan suara yang pelan bocah lelakiku menjawab : “Iya Ma.” Lalu kupeluk dirinya erat-erat, membelai wajahnya memandangnya sambil berkata : “Mama, sayang kakak”. “Kakak juga sayang mama,” jawabnya.

Menjadi bahan refleksiku ; Betapa selama  ini aku sudah membuatnya terluka, ketika aku marah khususnya. Dan aku sangat beryukur karena Tuhan sudah mengirimkan anak lelaki kecil ini di dalam hidupku. Dia telah mengajarkan banyak hal dalam kehidupanku. Darinya aku belajar untuk lebih mengenal diriku, kekuranganku, dan senantiasa membarui diri dari hari ke hari. 

Cucianku telah selesai, saatnya membangunkan bocah lelakiku, dengan sekantung besar kesabaran, yang bakal aku butuhkan ketika nanti aku membangunkannya. Karena aku paling tak tahan, melihatnya menghabiskan waktu 10 menit Tarik badan dan malas-malasan di tempat tidur, 5 menit memandangi air, 10 menit mandi, menit-menit itu tidak akan cukup untuk sarapan, berpakaian, pakai sepatu, untuk tidak terlambat ke sekolah. Jadi harus ekstra sabar, biar tak ada teriakan penuh amarah dan penyesalan di akhirnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar