Rasanya masih terlalu pagi untuk
beranjak dari pembaringan; pengen tidur terus. Jam 4 subuh, geliat tubuh balitaku
membuatku terbangun, dan sebelum geliat tubuhnya pecah menjadi tangisan aku
bangun dan membuatkannya susu formula. Beberapa menit kemudian dia kembali
tertidur dengan dot di mulutnya. Pada saat seperti ini saya dihadapkan pada dua
keputusan tidur kembali untuk 30 menit ke depan dan akan ada kepanikan di
mana-mana, ketergesa-gesaan dalam menyiapkan sarapan, menyiapkan keperluan anak
dan suami, atau bangun saat ini juga dan memulai aktifitas. Bangun…..!
Udara masih belum juga hangat,
langit sedikit terang tetapi belum terang benar, seperti masih menyiapkan
peraduan untuk sang mentari. Sedikit perputaran bumi entah berapa derajat lagi
ke timur, pantulan mentari sudah pasti akan menghangatkan bumi ini, teriknya
lebih cepat terasa di jam 9 ; super terik akan menggantikan tempatnya
terik dan membuat penghuni bumi seperti terpanggang kepanasan.
Sayup-sayup dari jauh terdengar
alunan musik “sakitnya tuh disini”, rupanya tetanggaku juga sudah bangun. Tak lama
kemudian dari tempatku berdiri mencuci piring, terdengar bentakan yang jelas
sekali “Dien, lu nih bodok mau mati e”.
Entah apa yang dilakukan oleh bocah 3
tahun sehingga memutuskan tali kesabaran sang ayah. Anak itu mungkin belum mengerti
apa-apa yang dimaksud dengan “bodok” saat ini, 4 tahun yang akan datang dia
mungkin akan mengajukan protes atau menerimanya. Kesalahan yang sering
dilakukan oleh orang tua, termasuk diriku. It’s a verbal abuse ; Pelabelan negatif
pada anak.
Bentakan itu mengingatkanku akan
kejadian beberapa hari lalu. Ada satu hal yang sudah sangat sering aku katakan
kepada anak lelakiku, semacam “jangan” tapi masih di langgar juga. Teriknya
udara, banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan, membuat aku dan aku yakin
banyak orang tua lain di luar sana juga
mengalaminya. Tingginya tekanan selalu sulit untuk membuatku mengekang lidah
ketika amarah telah mencapai ambang batas keruntuhan. Dan terjadilah ; dengan
setengah berteriak dan nada yang tidak rendah aku berkata : “Kakak, kenapa
kakak bodoh sekali? Sudah berapa kali mama bilang dan bla bla bla bla..” Dan
ketika aku menyelesaikan kalimat terakhirku, terdengar jawaban anakku
pelan-pelan : “Ma, jangan bilang kakak bodoh kah. Kakak kan pergi ke sekolah,
jadi kakak tidak bodoh. Kakak tidak suka mama bilang kakak bodoh”.
Seperti bara api tersiram air,
seketika itu juga aku terdiam. Tuhan, apa yang sudah aku lakukan. Sering sekali
aku kehilangan kendali dan kekang atas lidahku ketika marah. Bocah lelakiku
pasti terluka selama ini. Rasanya pasti sama seperti aku dimarahi bapak atau
mama dahulu. Aku berharap pelabelan negatif ini tidak membekas dalam hidupnya. Tapi
ucapan itu tak mungkin aku tarik kembali, dan masih ada kemungkinan akan
terucap kembali di masa mendatang. Karena aku memang sedang belajar untuk
belajar untuk mengenali amarahku dan mengekang lidah. Dan aku berharap bisa untuk
tidak melakukannya lebih baik lagi.
Setelah beberapa saat terdiam dengan berbagai
pikiran ini. “Baiklah kakak, mama minta maaf. Terima kasih sudah mengingatkan
mama. Tapi bisakah kakak mendengarkan apa yang mama katakan, sehingga mama
tidak perlu mengucapkan kata-kata yang
kakak tidak ingin dengar? Kakak, tidak bodoh tapi apa yang kakak buat itu
bodoh. Bukankah sudah dilarang untuk tidak melakukan itu. Kenapa masih buat
juga, bukankah itu bodoh namanya. Karena kalau kita belajar, kalau kita tidak
bodoh sekali dibilang harusnya sudah mengerti”, kataku. Dan masih dengan suara
yang pelan bocah lelakiku menjawab : “Iya Ma.” Lalu kupeluk dirinya erat-erat,
membelai wajahnya memandangnya sambil berkata : “Mama, sayang kakak”. “Kakak
juga sayang mama,” jawabnya.
Menjadi bahan refleksiku ; Betapa
selama ini aku sudah membuatnya terluka,
ketika aku marah khususnya. Dan aku sangat beryukur karena Tuhan sudah
mengirimkan anak lelaki kecil ini di dalam hidupku. Dia telah mengajarkan
banyak hal dalam kehidupanku. Darinya aku belajar untuk lebih mengenal diriku,
kekuranganku, dan senantiasa membarui diri dari hari ke hari.
Cucianku telah selesai, saatnya
membangunkan bocah lelakiku, dengan sekantung besar kesabaran, yang bakal aku
butuhkan ketika nanti aku membangunkannya. Karena aku paling tak tahan, melihatnya
menghabiskan waktu 10 menit Tarik badan dan malas-malasan di tempat tidur, 5
menit memandangi air, 10 menit mandi, menit-menit itu tidak akan cukup untuk
sarapan, berpakaian, pakai sepatu, untuk tidak terlambat ke sekolah. Jadi harus
ekstra sabar, biar tak ada teriakan penuh amarah dan penyesalan di akhirnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar