Waktu membaca adalah waqktu yang benar-benar terselipkan di
antara kegiatan-kegiatan yang lain. Ada satu bacaan yang ini sekali saya baca pagi
tadi, saya menoleh ke samping si batita itu sedang asyik menonton, good
setidaknya ada waktu 10 menit ke depan sementara dia asyik menonton. Tapi oh
tidak, saya tak mungkin mengabaikan rasa lapar yang mulai menggelitik organ
dalam perutku. Maka saya menuju ke meja makan dan menikmati sarapan, sambil
membaca dan si batita masih asyik menonton.
Tidak terasa makanan itu sudah berpindah tempat melalui
kerongkongan, terus ke tempatnya dia harus dicerna untuk menjadi energi.
Saya
meletakkan piring di samping saya, di atas tikar yang selalu menemani kami
menjadi pembatas antara tubuh kami dengan lantai yang kerap dingin.
Si batita yang sedang menonton menoleh ke arah saya, lalu
dia berdiri, menuju ke arah saya. “Oh tidak, selamat tinggal bacaanku sampai
kita berjumpa di waktu senggang berikutnya.” Pikirku sambil menarik napas
panjang memandang tak berdaya, pada lembaran-lembaran kertas yang tergeletak di
atas tikar itu. Dan mata saya terbelalak. Batitaku tidak mendatangi saya
seperti biasa, duduk diatas pangkuan saya, saling berhadap-hadapan, memegang
kedua tangan saya yang artinya buat saya menyanyikannya lagu “tepuk tangan”,
menggelitiknya dengan sepuluh jari dan dia akan tertawa tergeli-geli dan
terkekeh-kekeh. Dia juga tidak datang untuk menciumi saya seperti yang biasa
dia lakukan.
Mengejutkan karena ternyata dia datang menuju piring kosong
; yang saya letakkan di atas tikar persis di samping saya, mengangkatnya menuju
ke ruang makan, lalu dengan sedikit berjinjit atas jari jemari kakinya yang
kecil dia berusaha meletakkan piring itu di atas meja. Seketika saya hendak
menyusul dan membantunya, tapi saya biarkan saja dan she did it dia berhasil
melakukannya. Spontan saya berkata : “wah Adik pintar.” Sambil bertepuk tangan.
Kali ini dia berlari ke arah saya, juga sambil bertepuk tangan gembira, dan
segera saya memeluk dan menciumnya. “Terima Kasih adik, sudah bantu mama angkat
piringnya,” kata saya Dan batitaku
membalas dengan berkata : “Manya.” (manya=sama-sama). Cerita tentang manya akan
berlanjut nanti.
Singkat kata saya membiarkan bacaan itu tergeletak di lantai,
memberikan jeda di rasa penasaran saya akan kelanjutan uraian dari baris-baris
berikutnya dan memutuskan untuk bermain saja dengan si batita. Untuk 30 menit
ke depan, waktu menjadi milik kami berdua, taka da TV, tak ada lagu-lagu yang
dilatunkan dari pengeras suara, selain suara nyanyian mama, yang diikuti dengan
nyanyian tak jelas dari mulut batita yang akan memasuki usia 18 bulan itu, tawa
renyah dan pelukan dan ciuman yang bertubi-tubi….:). Dan saya yakin saat-saat
ini akan menjadi saat-saat yang sangat saya rindukan 5, 10, atau 15 tahun
mendatang. Ketika kaki-kaki kecilnya akan terus bekembang untuk tiba saatnya
mengenakan sepatu sekolah, lalu saatnya dia harus mengepakkan sayapnya terbang
tinggi untuk meraih kehidupannya sendiri. Menjadi ibu untuk anak-anaknya kelak….:D:D.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar