Jumat, 07 November 2014

"Biar Adik Yang Mengangkatnya, Ma."

Waktu membaca adalah waqktu yang benar-benar terselipkan di antara kegiatan-kegiatan yang lain. Ada satu bacaan yang ini sekali saya baca pagi tadi, saya menoleh ke samping si batita itu sedang asyik menonton, good setidaknya ada waktu 10 menit ke depan sementara dia asyik menonton. Tapi oh tidak, saya tak mungkin mengabaikan rasa lapar yang mulai menggelitik organ dalam perutku. Maka saya menuju ke meja makan dan menikmati sarapan, sambil membaca dan si batita masih asyik menonton.

Tidak terasa makanan itu sudah berpindah tempat melalui kerongkongan, terus ke tempatnya dia harus dicerna untuk menjadi energi.
Saya meletakkan piring di samping saya, di atas tikar yang selalu menemani kami menjadi pembatas antara tubuh kami dengan lantai yang kerap dingin. 

Si batita yang sedang menonton menoleh ke arah saya, lalu dia berdiri, menuju ke arah saya. “Oh tidak, selamat tinggal bacaanku sampai kita berjumpa di waktu senggang berikutnya.” Pikirku sambil menarik napas panjang memandang tak berdaya, pada lembaran-lembaran kertas yang tergeletak di atas tikar itu. Dan mata saya terbelalak. Batitaku tidak mendatangi saya seperti biasa, duduk diatas pangkuan saya, saling berhadap-hadapan, memegang kedua tangan saya yang artinya buat saya menyanyikannya lagu “tepuk tangan”, menggelitiknya dengan sepuluh jari dan dia akan tertawa tergeli-geli dan terkekeh-kekeh. Dia juga tidak datang untuk menciumi saya seperti yang biasa dia lakukan. 

Mengejutkan karena ternyata dia datang menuju piring kosong ; yang saya letakkan di atas tikar persis di samping saya, mengangkatnya menuju ke ruang makan, lalu dengan sedikit berjinjit atas jari jemari kakinya yang kecil dia berusaha meletakkan piring itu di atas meja. Seketika saya hendak menyusul dan membantunya, tapi saya biarkan saja dan she did it dia berhasil melakukannya. Spontan saya berkata : “wah Adik pintar.” Sambil bertepuk tangan. Kali ini dia berlari ke arah saya, juga sambil bertepuk tangan gembira, dan segera saya memeluk dan menciumnya. “Terima Kasih adik, sudah bantu mama angkat piringnya,” kata saya  Dan batitaku membalas dengan berkata : “Manya.” (manya=sama-sama). Cerita tentang manya akan berlanjut nanti. 

Singkat kata saya membiarkan bacaan itu tergeletak di lantai, memberikan jeda di rasa penasaran saya akan kelanjutan uraian dari baris-baris berikutnya dan memutuskan untuk bermain saja dengan si batita. Untuk 30 menit ke depan, waktu menjadi milik kami berdua, taka da TV, tak ada lagu-lagu yang dilatunkan dari pengeras suara, selain suara nyanyian mama, yang diikuti dengan nyanyian tak jelas dari mulut batita yang akan memasuki usia 18 bulan itu, tawa renyah dan pelukan dan ciuman yang bertubi-tubi….:). Dan saya yakin saat-saat ini akan menjadi saat-saat yang sangat saya rindukan 5, 10, atau 15 tahun mendatang. Ketika kaki-kaki kecilnya akan terus bekembang untuk tiba saatnya mengenakan sepatu sekolah, lalu saatnya dia harus mengepakkan sayapnya terbang tinggi untuk meraih kehidupannya sendiri. Menjadi ibu untuk anak-anaknya kelak….:D:D.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar