Menjadi seorang Mama, berarti
menjadi seorang manusia yang harus bangun lebih pagi, menyiapkan sarapan, membantu
anak ke sekolah, sembari mencuci pakaian dan harus bolak balik kamar-tempat
cuci piring untuk memastikan anak bayi itu tidak terjatuh
dari tempat tidur. Dan juga menjadi manusia yang tidurnya harus lebih
terlambat dari yang lain.
Menjadi seorang Mama, harus
pintar mengatur waktu, tak ada waktu santai. Lima menit adalah sangat berharga.
Bahkan lima menit kala bayi mungil itu terlelap. Mandi, menjemur pakaian,
memasak, mencucip perkakas kotor, menyapu dan lain-lain. Belum lagi harus
menjemput anak yang lebih besar dari sekolah..:).
Menjadi seorang Mama juga harus
rela berkorban. Bukan berarti kehidupannya sendiri menjadi tidak penting. Namun, kedua tangan dan kedua kaki bayi, tak berdaya
dan menggemaskan itu, yang bahkan belum mampu menyuapkan makanannya sendiri
atau berjalan diatas kakinya sendiri, membutuhkan kedua tangan Mama yang penuh
kasih untuk membimbingnya. Mama harus rela melepaskan bacaan kesukaan, film
favoritnya, segera untuk menjawab panggilan emergency yang di alarmkan dari
tangisan bayi yang artinya bisa bervariasi ; “Aku butuh engkau, Mama, cepat kemari : Aku
lapar, aku basah karena kencingku sendiri; ganti celanaku mama; basah ini membuatku tak
nyaman, aku ingin dibelai, aku ingin bermain atau aku lapar, Mama, dan
lain-lainJ.”
Ekspresi wajah dari tertawa, muka cemberut, atau ketika mulutnya sedikit
dimoncongkan ke depan; antara hendak menagis atau tertawa menjadi candu buatku.
Lalu kapankah waktu untuk dirinya sendiri? Waktu buat dirinya sendiri adalah
ketika semua telah terlelap, anak-anaknya terlelap dibuai mimpi.
Menjadi seorang Mama itu adalah sebuah
proses pembelajaran. Pembelajaran diri untuk menjadi pribadi yang “bebas”.
Menjadi mama kok bebas...? Yup. Menurutku, menjadi seorang mama, harus bebas
dari rasa galau, bebas dari kekhawatiran, bebas dari ketakutan, bebas dari
keluhan, singkatnya menjadi pribadi yang bebas dari emosi negatif. Bukan berarti
rasa itu tak ada, semua rasa itu ada, belajar untuk menjadi pengamat rasa
terhadap perasaan dari dalam diri sendiri, belajar untuk mengabaikan awan-awan
galau, awan-awan gelisah dan awan-awan kelabu, tetap melakukan tugas sembari
menunggu awan cerah menghiasi hati kita. Mulut-mulut kecil itu butuh makan,
pakaian harus dicuci, piring harus dibersihkan, anak-anak juga membutuhkan
ruangan bersih untuk bermain. Tak ada waktu untuk menanggapi semua awan negatif
itu, abaikan saja.
Menjadi seorang mama, harus penuh
kasih. Kasihlah yang mendasari semuanya. Tidak digaji, capek, urus suami, urus
anak, urus keluarga urus ini urus itu, dan lain-lain. Lalu ada bahasa yang
muncul dari seorang istri kepada suaminya : “memangnya saya ini pembantumu.?” Lah
kalau tidak mau capek, kalau tidak mau urus anak, urus suami, urus ini, urus
itu (banyak kali urusannya), kenapa harus menjadi seorang mama...? Siap atau
tidak siap, ketika seorang anak lahir, maka hidup seorang perempuan tak lagi
sama seperti kemarin. Harus siap melayani dan penuh kasih.
Tidak perlu harus menjadi
rohaniwan, penting bagi seorang mama, untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Komunikasi
dengan suami dan anak adalah penting, namun Keintiman dengan Tuhan harus
menjadi nomor satu dan harus berada di atas semua hubungan yang ada. Karena menurut
saya : menjadi seorang mama itu harus menjadi seorang pribadi yang super kuat, super
tegar, dan kekuatan itu hanya ada dalam Pengharapan dan Iman yang terus
bertumbuh di dalam DIA.
Setuju, Kaka.. Bukankah surga ada di bawah telapak kaki mama?
BalasHapusSalam hangat untuk keluarga..
Terimaksh Nara Reba, sudah mampir.
HapusSalam hangat kembali untuk kelu. manggarai