Kamis, 14 November 2013

Menjadi Seorang Mama



Menjadi seorang Mama, berarti menjadi seorang manusia yang harus bangun lebih pagi, menyiapkan sarapan, membantu anak ke sekolah, sembari mencuci pakaian dan harus bolak balik kamar-tempat cuci piring untuk memastikan anak bayi itu tidak terjatuh  dari tempat tidur. Dan juga menjadi manusia yang tidurnya harus lebih terlambat dari yang lain. 

Menjadi seorang Mama, harus pintar mengatur waktu, tak ada waktu santai. Lima menit adalah sangat berharga. Bahkan lima menit kala bayi mungil itu terlelap. Mandi, menjemur pakaian, memasak, mencucip perkakas kotor, menyapu dan lain-lain. Belum lagi harus menjemput anak yang lebih besar dari sekolah..:). 


Menjadi seorang Mama juga harus rela berkorban. Bukan berarti kehidupannya sendiri menjadi tidak penting. Namun,  kedua tangan dan kedua kaki bayi, tak berdaya dan menggemaskan itu, yang bahkan belum mampu menyuapkan makanannya sendiri atau berjalan diatas kakinya sendiri, membutuhkan kedua tangan Mama yang penuh kasih untuk membimbingnya. Mama harus rela melepaskan bacaan kesukaan, film favoritnya, segera untuk menjawab panggilan emergency yang di alarmkan dari tangisan bayi yang artinya bisa bervariasi ;  “Aku butuh engkau, Mama, cepat kemari : Aku lapar, aku basah karena kencingku sendiri;  ganti celanaku mama; basah ini membuatku tak nyaman, aku ingin dibelai, aku ingin bermain atau aku lapar, Mama, dan lain-lainJ.” Ekspresi wajah dari tertawa, muka cemberut, atau ketika mulutnya sedikit dimoncongkan ke depan; antara hendak menagis atau tertawa menjadi candu buatku. Lalu kapankah waktu untuk dirinya sendiri? Waktu buat dirinya sendiri adalah ketika semua telah terlelap, anak-anaknya terlelap dibuai mimpi. 

Menjadi seorang Mama itu adalah sebuah proses pembelajaran. Pembelajaran diri untuk menjadi pribadi yang “bebas”. Menjadi mama kok bebas...? Yup. Menurutku, menjadi seorang mama, harus bebas dari rasa galau, bebas dari kekhawatiran, bebas dari ketakutan, bebas dari keluhan, singkatnya menjadi pribadi yang bebas dari emosi negatif. Bukan berarti rasa itu tak ada, semua rasa itu ada, belajar untuk menjadi pengamat rasa terhadap perasaan dari dalam diri sendiri, belajar untuk mengabaikan awan-awan galau, awan-awan gelisah dan awan-awan kelabu, tetap melakukan tugas sembari menunggu awan cerah menghiasi hati kita. Mulut-mulut kecil itu butuh makan, pakaian harus dicuci, piring harus dibersihkan, anak-anak juga membutuhkan ruangan bersih untuk bermain. Tak ada waktu untuk menanggapi semua awan negatif itu, abaikan saja. 

Menjadi seorang mama, harus penuh kasih. Kasihlah yang mendasari semuanya. Tidak digaji, capek, urus suami, urus anak, urus keluarga urus ini urus itu, dan lain-lain. Lalu ada bahasa yang muncul dari seorang istri kepada suaminya : “memangnya saya ini pembantumu.?” Lah kalau tidak mau capek, kalau tidak mau urus anak, urus suami, urus ini, urus itu (banyak kali urusannya), kenapa harus menjadi seorang mama...? Siap atau tidak siap, ketika seorang anak lahir, maka hidup seorang perempuan tak lagi sama seperti kemarin. Harus siap melayani dan penuh kasih. 

Tidak perlu harus menjadi rohaniwan, penting bagi seorang mama, untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Komunikasi dengan suami dan anak adalah penting, namun Keintiman dengan Tuhan harus menjadi nomor satu dan harus berada di atas semua hubungan yang ada. Karena menurut saya : menjadi seorang mama itu harus menjadi seorang pribadi yang super kuat, super tegar, dan kekuatan itu hanya ada dalam Pengharapan dan Iman yang terus bertumbuh di dalam DIA.

2 komentar:

  1. Setuju, Kaka.. Bukankah surga ada di bawah telapak kaki mama?

    Salam hangat untuk keluarga..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimaksh Nara Reba, sudah mampir.
      Salam hangat kembali untuk kelu. manggarai

      Hapus