Salah satu saat
yang paling menyenangkan adalah ketika mendengar obrolan bapak dan anak di meja
makan. Dan bagaimana si bapak menceritakan kembali masa kecilnya; kenangannya
bersama almarhum bapaknya. Masih terus teringat kata-katanya : “Papa dulu
pernah berbohong, tapi begitu ketahuan Ba'i tdak pukul papa, tetapi ba’i sudah tidak
percaya lagi, dan itu rasanya sangat tidak enak sekali. Begitu juga dengan
kakak, Papa percaya dengan kakak, apa yang kakak katakan, dan papa harap kakak
bisa jaga kepercayaan itu.”
Ketika saya
membaca cerita ini, mengingatkan saya lagi akan percakapan bapak dan anak di
meja makan itu. Membuat saya ingin mengetikanya untuk dishare dan semoga
bermanfaat.
Berikut adalah
cerita masa muda dari seorang pendidik besar dari India, Dr. Arun Gandhi, cucu
Mahatma Gandhi yang diceritakannya saat memberikan ceramah di Puerto Rico.
“Saya ingat
betul ketika saya masih berusia 16 tahun, kami tinggal di lembaga yang didirikan
kakek saya, di tengah-tengah kebun tebu, sejauh 18 mil, di luar kota Durban,
Afrika Selatan. Karena kami tinggal jauh di pedalaman dan tidak memiliki
tetangga, maka saya dan dua saudara perempuan sangat senang ketik memiliki
kesempatan untuk ke kota mengunjungi teman atau menonton.”
“Pada
hari itu ayah meminta saya untuk mengantarkannya ke kota untuk menghadiri
konferensi sehari penuh. Ibu juga memberikan daftar belanjaan yang dia
perlukan. Satu lagi ayah juga meminta saya membawa mobil ke bengkel untuk
diperbaiki. Sungguh senang rasanya karena kesempatan itu.”
“Tiba
di tempat konferensi, ayah berpesan, ‘Arun, ayah tunggu engkau disini pukul 5
sore. Lalu kita akan pulang ke rumah bersama-sama.’ Dengan cepat saya
menyelesaikan tugas yang diberikan oleh ayah dan ibu kepada saya. Kemudian,
saya pergi ke bioskop menonton film hingga lupa waktu.”
“Begitu
saya melihat jam menunjukkan pukul 5.30 sore, saya langsung berlari ke bengkel
mobil dan terburu-buru menjemput ayah yang sudah menunggu lama dan sudah hamper
pukul 6.00 sore. Dengan gelisah ayah menanyai saya, ‘Mengapa engkau terlambat?’
Saya malu mengakui menonton film sehingga saya menjawab, ‘Tadi, mobilnya
sehingga saya harus menunggu.’ Padahal tanpa sepengetahuan saya, ayah telah
menelepon bengkel mobil itu. Dan, kini ayah tahu kalau saya berbohong.”
“Ada
yang salah dalam membesarkan engkau sehingga engkau tidak berani menceritakan
kebenaran pada ayah. Untuk menghukum kesalahan ayah ini, ayah akan pulang ke
rumah dengan berjalan kaki sejauh 18 mil sembari memikirkannya baik-baik,’ kaya
ayah dengan tegas.’ Kemudian dengan tetap mengenakan pakaian dan sepatunya ayah
mulai berjalan kaki pulang ke rumah. , padahal hari sudah gelap. Saya tidak
bisa meninggalkan ayah, maka selama lima setengah jam, saya mengendarai mobil
pelan-pelan dibelakangnya, melihat penderitaan yang dialami ayah hanya karena
kebohongan bodoh yang telah saya lakukan.”
“Itu
permanen di hati saya. Sejak itu saya tidak akan berbohong lagi. Mengenang
peristiwa itu sering sekali saya berpikir, seandainya
ayah menghukum saua sebagaimana kita menghukum anak-anak kita, maka apakah saya
akan mendapatkan pelajaran mengenai teladan tanpa kekerasan? Saya kira tidak.
Saya akan menderita akan hukuman itu dan melakukan hal yang sama lagi. Tetapi,
hanya dengan satu tindakan tanpa kekerasan yang sangat luar biasa, sehingga
saya merasa kejadian itu baru saja terjadi kemarin. Itulah kekuatan tanpat
kekerasan.
Senada dengan
pesan kisah ini, Will Rogers, seorang Amerika yang kenamaan berkata : “Yang
ayah wariskan kepada anak-anaknya bukan kata-kata atau kekayaan, tetapi sesuatu
yang terucapkan yaitu teladan sebagai seorang pria dan juga seorang ayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar