Minggu, 20 Juli 2014

Teladan Tanpa Kekerasan



Salah satu saat yang paling menyenangkan adalah ketika mendengar obrolan bapak dan anak di meja makan. Dan bagaimana si bapak menceritakan kembali masa kecilnya; kenangannya bersama almarhum bapaknya. Masih terus teringat kata-katanya : “Papa dulu pernah berbohong, tapi begitu ketahuan Ba'i tdak pukul papa, tetapi ba’i sudah tidak percaya lagi, dan itu rasanya sangat tidak enak sekali. Begitu juga dengan kakak, Papa percaya dengan kakak, apa yang kakak katakan, dan papa harap kakak bisa jaga kepercayaan itu.”

Ketika saya membaca cerita ini, mengingatkan saya lagi akan percakapan bapak dan anak di meja makan itu. Membuat saya ingin mengetikanya untuk dishare dan semoga bermanfaat.

Berikut adalah cerita masa muda dari seorang pendidik besar dari India, Dr. Arun Gandhi, cucu Mahatma Gandhi yang diceritakannya saat memberikan ceramah di Puerto Rico.

“Saya ingat betul ketika saya masih berusia 16 tahun, kami tinggal di lembaga yang didirikan kakek saya, di tengah-tengah kebun tebu, sejauh 18 mil, di luar kota Durban, Afrika Selatan. Karena kami tinggal jauh di pedalaman dan tidak memiliki tetangga, maka saya dan dua saudara perempuan sangat senang ketik memiliki kesempatan untuk ke kota mengunjungi teman atau menonton.”


                “Pada hari itu ayah meminta saya untuk mengantarkannya ke kota untuk menghadiri konferensi sehari penuh. Ibu juga memberikan daftar belanjaan yang dia perlukan. Satu lagi ayah juga meminta saya membawa mobil ke bengkel untuk diperbaiki. Sungguh senang rasanya karena kesempatan itu.”

                “Tiba di tempat konferensi, ayah berpesan, ‘Arun, ayah tunggu engkau disini pukul 5 sore. Lalu kita akan pulang ke rumah bersama-sama.’ Dengan cepat saya menyelesaikan tugas yang diberikan oleh ayah dan ibu kepada saya. Kemudian, saya pergi ke bioskop menonton film hingga lupa waktu.”

                “Begitu saya melihat jam menunjukkan pukul 5.30 sore, saya langsung berlari ke bengkel mobil dan terburu-buru menjemput ayah yang sudah menunggu lama dan sudah hamper pukul 6.00 sore. Dengan gelisah ayah menanyai saya, ‘Mengapa engkau terlambat?’ Saya malu mengakui menonton film sehingga saya menjawab, ‘Tadi, mobilnya sehingga saya harus menunggu.’ Padahal tanpa sepengetahuan saya, ayah telah menelepon bengkel mobil itu. Dan, kini ayah tahu kalau saya berbohong.”
                “Ada yang salah dalam membesarkan engkau sehingga engkau tidak berani menceritakan kebenaran pada ayah. Untuk menghukum kesalahan ayah ini, ayah akan pulang ke rumah dengan berjalan kaki sejauh 18 mil sembari memikirkannya baik-baik,’ kaya ayah dengan tegas.’ Kemudian dengan tetap mengenakan pakaian dan sepatunya ayah mulai berjalan kaki pulang ke rumah. , padahal hari sudah gelap. Saya tidak bisa meninggalkan ayah, maka selama lima setengah jam, saya mengendarai mobil pelan-pelan dibelakangnya, melihat penderitaan yang dialami ayah hanya karena kebohongan bodoh yang telah saya lakukan.”

                “Itu permanen di hati saya. Sejak itu saya tidak akan berbohong lagi. Mengenang peristiwa itu sering sekali saya berpikir, seandainya ayah menghukum saua sebagaimana kita menghukum anak-anak kita, maka apakah saya akan mendapatkan pelajaran mengenai teladan tanpa kekerasan? Saya kira tidak. Saya akan menderita akan hukuman itu dan melakukan hal yang sama lagi. Tetapi, hanya dengan satu tindakan tanpa kekerasan yang sangat luar biasa, sehingga saya merasa kejadian itu baru saja terjadi kemarin. Itulah kekuatan tanpat kekerasan. 

Senada dengan pesan kisah ini, Will Rogers, seorang Amerika yang kenamaan berkata : “Yang ayah wariskan kepada anak-anaknya bukan kata-kata atau kekayaan, tetapi sesuatu yang terucapkan yaitu teladan sebagai seorang pria dan juga seorang ayah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar