Setelah beraktivitas seharian,
waktu yang paling ditunggu-tunggu adalah
saat dudukan menyentuh kursi, dengan rasa penasaran untuk melihat ebook yang
baru dicopy dari laptop suami yang akan segeran terpuaskan. Saya mulai
menelusuri satu ebook ke ebook lain membiarkan Melodya,anak perempuan tiga
tahun dengan tontonannya dan Jericho, kakaknya dengan bacaannya.
Rileks itu terganggu dan
ketenangan yang baru saja akan hinggap mulai menjauh perlahan, ketika
percakapan kakak dan adik ini mulai berulang dan berakhir dengan rengekan :
“Ade ganti kaka punya film e,” penuh rayuan.
“Tidak, kakak punya film sudah habis,” tegas
seperti biasa tanpa mengalihkan perhatian.
Melodya bukan balita satu atau
dua tahun yang mudah ditipu kini, dia sudah sangat menikmati Baby First atau
Disney Juniornya. Tak kehilangan akal kakak mulai mencoba mengalihkan
perhatiannya.
“Oh yah sudah, kakak pi main
pasir sendiri e, da da da ade...,” kakak mulai membuka pintu dan keluar, sayang
tipuan itu tidak berhasil, Melodya mengikutinya ke depan pintu dan berkata, “Sudah
malam, kakak. Masut...,” lalu ia kembali ke kursi kebesarannya.
“Kakak, tunggulah sedikit, biar
ade nonton dulu, tidak lama lagi dia sudah mengantuk,” saya mencoba
memperingatkan Jericho.
Tak puas kakaknya mulai datang
kembali dan mencoba merayu adiknya namun
hasilnya selalu sama, kali ini berakhir dengan tangisan.
Rileks yang terusik, tangisan
Melodya membuat kesabaran saya hilang, dan persis ketika Jericho melangkahkan
kakinya ke luar pintu, saya lalu mengunci pintu depan dan pintu ruang tengah
dan pintu belakang, “Iya main pasir sudah, jangan masuk eee....!”
Jeri mencoba membuka pintu dan
saya tak bergeming, memasang headset dan keributan di pintu tak terdengar lagi.
Melodya mendekat dengan boneka
lebah di tangannya, menarik-narik baju saya, saya melepaskan headset dan mencoba
mendengarkannya. Bibirnya mulai maju ke depan hampir membentuk sudut 90
derajat, “Mama, mama kakak Ei mana?” lalu ia mencoba mencari-cari kakaknya dari
balik jendela, berlari ke belakang sambil meneriakkan nama kakaknya, “Kaka Ei,
Kaka Ei.”
Saya membiarkannya beberapa saat,
sebelum ia meminta untuk dipangku. Dalam pangkuan saya, bibir 90 derajat itu
kembali ada, dan air mata mulai mengalir pelan, “Mama, kakak Ei mana,” katanya.
Saya mencium dahinya terharu,
lalu memeluknya erat. Tidak saya sangka anak perempuan tiga tahun ini memiliki
kasih yang besar untuk kakaknya, dalam permainan bersama ia seringkali tak mau
mengalah, atau tak ingin berbagi papanya, tapi kali ini seperti ada rasa takut kehilangan.
“Ayok ade turun dulu, kita buka
pintu buat kakak.” Saya membuka pintu, ia lalu berlari keluar dan memanggil, “kaka
Ei, kaka Ei, ayo masut, suda mayam.” Dan ketika kakaknya datang mendekat untuk
memeluknya ia malah berteriak dan memeluk erat saya. Saya menggendongnya, lalu
kami bertiga berpelukan.
Melodya sudah tidur sekarang, dan
Jericho masih menunggu film Animax berikutnya. Saya mencoba menyimpan kejadian
tadi dalam tulisan.
“Ada bekas istri atau suami, tapi
tidak pernah ada bekas mama, bekas bapak, bekas kakak, atau bekas adik,”
kalimat yang biasa diucapkan orang tua lalu terlintas dalam kepala saya.
Masalah boleh datang dan pergi di
antara kakak dan adik, pasangan hidup boleh merubah watak dan pribadi seorang
kakak atau adik, pada akhirnya ikatan darah, dan sejarah dari rahim yang sama
akan senantiasa membawa semuanya pada kenangan akan satu rahim itu.
Kalian berdua, saling menjaga dan
menyayangilah terus satu sama lain, sampai kapanpun....:D.
Penuh Cinta untuk kalian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar