Saat seorang anak dimasukkan ke sebuah lembaga sekolah, saat itu juga banyak orang tua yang merasa bahwa tanggung jawab terhadap anak sudah berkurang. Tak perlu susah-susah mendampingi anak-anak belajar membaca di rumah, tak perlu susah-susah mendampingi anak-anak mulai mengerti konsep matematika dasar di rumah, “Ada guru di sekolah, biar guru saja yang atur,”
Pernah sekali waktu, tiga belas
tahun lalu. “Saya tidak pernah tanya ada PR kah tidak. Ajar mereka di rumah nih
susah, jadi biar sudah mereka punya guru yang atur di sekolah,” celetuk seorang
mama yang berdiri di samping saya, saat kami menunggu anak-anak dari balik
jendela.. Meskipun kaget dan gusar, saya berusaha untuk tetap tersenyum.
Saya lalu teringat saya punya
mama. Dulu, setiap kami pulang sekolah mama pasti tanya ada PR tidak. Mama
selalu sibuk jualan, di saat senggangnya mama selalu luangkan waktu untuk ajar kami (saya dengan saya punya
adik) belajar membaca dan berhitung. Kalau mama pulang belanja dari toko, mama
pasti bawakan buku-buku untuk mewarnai, belajar berhitung dan belajar membaca,
ada juga flashcard alphabet, mainan dari kayu-kayu untuk belajar mengeja.
Intinya, saya punya mama berusaha keras agar kami bisa maju, kami bisa membaca,
bisa berhitung, baginya tidak cukup anak-anak belajar di sekolah, mama berusaha
keras membimbing kami di rumah, di antara segudang aktivitas yang harus ia
lakukan.
Ada kisah tentang mistar kayu
yang mencium buku-buku jari, saat kami salah menulis atau salah mengeja. Mama
akan terus mengulang sampai kami tahu. Dan kami akan terus berusaha untuk cepat
tahu supaya itu mistar kayu tidak cium kami punya buku-buku jari.
Hal itu kini berulang saat kami
mengajar anak-anak kami. Meski dengan metode yang berbeda, kisah mistar kayu di
buku-buku jari akan membuat mulut anak-anak kami melongo. Sekali pernah anak
saya yang besar bertanya, “Tapi, Ma, itu kan kekerasan. Oma bisa masuk penjara
kalau bikin begitu.”
“Kekerasan? Yah, setidaknya
kalian bisa bandingkan dengan sekarang. Kalau mama ajar kalian belajar pakai
kata-kata yang tidak tahu stop, bandingkan dengan zaman mama dulu. Tapi, mama
bersyukur, dengan begitu mama bisa ajar kalian sekarang…”
Bayangkan kalau dulu mama tidak
keras mendidik, dan mengajar kami di rumah. Kami sudah pasti akan bisa membaca,
menulis dan berhitung dengan waktu yang sedikit lama tentunya. Saya juga
mungkin akan berkata seperti ini, “Saya tidak pernah tanya ada PR kah tidak.
Ajar mereka di rumah nih susah, jadi biar sudah mereka punya guru yang atur di
sekolah,” saat menghadapi anak-anak yang mulai belajar calistung, apalagi di
masa pandemi seperti ini.
Kenyataannya apa yang mama
tanamkan dengan keras terus terbawa hingga kini. Naluri itu datang begitu saja.
Setiap ada berkat saya selalu berusaha untuk menyediakan buku-buku bagi mereka,
menemani mereka belajar, tertawa bersama mereka, merasa dekat dengan mereka.
Dan meskipun banyak kali saya merasa letih saat mengulang dan harus
menyesuaikan, berusaha menyederhanakan cara berpikir saya dengan cara berpikir
anak-anak, tetap selalu ada kesenangan dalam proses itu. Tidak hanya untuk
anak-anak tapi ada proses kreatif yang juga turut berkembang di dalam saya
punya kepala.
Masa belajar di rumah buat saya
malah menyenangkan walau seringkali harus ekstra sabar. Lagipula, saya tak
sendiri, ada suami yang bersedia menemani anak-anak sesekali. Saya tidak punya masalah dengan anak yang
besar. Dia sudah memiliki kemandirian dalam belajar sejak berapa tahun lalu.
Saya malah merindukan pertanyaan-pertanyaan yang kini jarang terlontar. Ia hanya
bertanya jika benar-benar ragu atau bingung. Waktu belajar kami sekarang lebih
berupa diskusi. Tentang grammar, tentang perpangkatan, tentang ilmu
pengetahuan, tentang buku-buku yang sudah ia baca dan hal-hal lain.
Saya kini konsen dengan adik
perempuannya yang masih membutuhkan bimbingan. Berusaha menjawab semua
pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari rasa ingin tahunya yang masih
berkembang. Dan, sekali lagi semua itu sungguh menyenangkan.
Situasi ini memang menyulitkan
bagi kita semua, bagi guru, orang tua dan siswa. Dan harus diakui titik
beratnya lebih berat ke orang tua. Karena di tengah kesibukan pekerjaan, orang
tua memang terpaksa harus belajar kembali saat disuguhkan materi-materi yang
sudah melapuk dalam otak.
Perjumpaan guru dengan siswa
sangatlah terbatas, sedangkan orang tua memiliki lebih banyak kondisi,
keprihatinan, kesulitan, kekuatan, dan kekurangan anak-anak karena orang tua
bertemu dan berjumpa dengan anak-anak secara lebih intensif.
Beberapa orang tua yang saya
kenal baik berusaha mati-matian agar anaknya tidak ketinggalan pelajaran dengan
memberikan les di rumah. Yang artinya para orang tua ini sadar betul bahwa proses
pendidikan tidak hanya berakhir di sekolah. Ada sesuatu yang ekstra yang
dilakukan bagi anak-anak untuk menggantikan kehadiran mereka yang cuma sebentar
di rumah dikarenakan pekerjaan. Tapi, buat saya usaha untuk memberikan les itu
sendiri sudah merupakan bentuk perhatian untuk anak-anak.
Pekerjaan yang saya jalani saat
ini tidak menuntut saya harus berada di rumah saat petang atau malam hari. Artinya,
di sela-sela kesibukan, ada waktu yang akan terus saya luangkan bagi anak-anak
selain alasan lain yaitu saya tidak punya cukup uang untuk membayar guru les tambahan.
Satu tips dari saya, jadikan
suasana belajar di rumah itu menyenangkan, sehingga bisa membuat anak-anak
menjadi termotivasi untuk belajar. Ada banyak bahan-bahan pembelajaran di
internet yang bisa dipakai untuk mendukung pembelajaran anak-anak di rumah dan
diunduh dengan gratis.
Kita, sebagai orang tua harus
terus semangat dalam membimbing anak-anak, sesibuk apapun kita, lebih-lebih
untuk anak-anak di jenjang TK dan SD. Waktu-waktu pendampingan ini tidak akan
mungkin bisa diulangi nanti dan akan menjadi kisah yang diceritakan ke
generasi-generasi berikutnya. Suatu saat nanti, saat anak-anak sudah bisa
belajar secara mandiri, kerinduan itu pasti ada, rindu saat-saat anak-anak
membutuhkan bimbingan kita. Jadi, mari kita nikmati waktu-waktu berharga ini
dengan mendampingi anak-anak belajar di rumah dengan penuh cinta.